Kecerdasan emosional
(EQ) merupakan bagian penting dalam diri yang memampukan seseorang mengontrol
dan mengelola emosi diri dari segala situasi yang ada. Dalam tulisan Goleman, diungkapkan banyak alasan mengapa kecerdasan emosional lebih penting dari kecerdasan intelektual. Berikut
ini beberapa penjabaran Goleman akan teorinya tentang kecerdasan emosional.
I. KECAKAPAN UTAMA
Rasa takut
merupakan siksaan emosional yang merusak kejernihan mental dan melumpuhkan otak
nalar. Emosi negatif yang kuat membelokkan setiap perhatian agar selalu tertuju
pada emosi itu sendiri, sehingga menghalangi usaha seseorang yang berupaya
memusatkan perhatian ke hal-hal lain yang sedang dijalani. Bila emosi
mengalahkan konsentrasi, yang dilumpuhkan adalah kemampuan mental atau ingatan
kerja. Ingatan inilah yang memungkinkan semua upaya intelektual dapat
terlaksana, mulai dari mengucapkan kalimat sampai menguraikan proposisi logika
yang rumit.
Motivasi
positif tidak boleh dilupakan dalam
mencapai prestasi. Motivasi seperti antuisme dan gairah memungkinkan seseorang
untuk berlatih secara rutin, melatih mental dan ketahanan diri di tengah
persaingan keras. Ketekunan itu bergantung pada sifat emosional seseorang.
Dalam artian ini kecerdasan emosional merupakan kecakapan utama, kemampuan yang
secara mendalam mempengaruhi semua kemampuan lainnya.
Kendali Dorongan Hati: Tes Marshmallow
Tes Marshmallow
adalah tes untuk melawan dorongan hati yang diberikan kepada anak usia 4 tahun.
Mereka diuji apakah tahan menunggu sampai si peneliti kembali dengan imbalan
dua bungkus marshmallow atau tidak dengan imbalan sebungkus saja. Meskipun
sederhana namun tes ini merupakan akar dari segala kendali emosional. Setelah
diteliti kemudian, anak-anak yang mampu menunggu dan menahan godaan nafsu untuk
langsung memakan marshmallow merupakan remaja-remaja yang secara sosial lebih
cakap, secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu menghadapi
kekecewaan hidup. Mereka tidak mudah hancur, menyerah, atau surut di bawah
beban stress. Sementara itu, anak-anak yang tidak sanggup menunggu dan langsung
menyambar marsmallow yang ada di hadapannya, ketika remaja cenderung menjauhi
hubungan sosial, keras kepala dan peragu, mudah tertekan kekecewaan, iri hati
dan cemburu. Disimpulkan bahwa, penundaan kepuasan yang dipaksakan kepada diri
sendiri demi suatu sasaran, barangkali merupakan inti pengaturan emosional diri.
Hati Risau, Pikiran Kacau
Kekhawatiran adalah inti rasa cemas yang
merusak segala kemampuan mental dan menghambat semua upaya untuk memberi
perhatian pada masalah-masalah lain. Dalam pekerjaan rumit yang banyak menuntut
pikiran, seseorang yang menderita kecemasan kronis yang parah hampir pasti
gagal dalam pekerjaan tersebut. Orang cemas lebih mudah gagal, karena semakin
cemas seseorang, semakin buruklah kinerja akademis mereka. Orang cemas biasanya
menanamkan dalam dirinya, aku tidak mahir dalam hal ini atau aku tidak bisa
melakukannya. Sementara itu orang yang pintar mengatur emosi mereka dapat
menemukan pemecahan masalah dalam hidup. Orang yang pintar mengatur emosi
adalah orang yang menang atas dirinya sendiri.
Kotak Pandora Dan Pollyanna: Kekuatan Berfikir Positif
Harapan membuat suatu perbedaan dalam
diri seseorang. Dengan kadar harapan yang tinggi orang terdorong untuk bekerja
lebih keras dan memikirkan segala daya upaya untuk mengejar suatu
ketertinggalan yang dialami. Sementara itu, orang yang derajat harapannya
rendah akan menyerah begitu saja dan patah semangat.
Kisah
tentang harapan juga diceritakan dalam legenda Pandora. Seorang putri bangsawan
Yunani yang bernama Pandora diberi hadiah sebuah kotak misterius oleh dewa-dewa
yang iri akan kecantikannya. Ia dilarang membuka kotak itu. Namun, karena
tergoda rasa ingin tahu, ia mengangkat tutup kotak itu dan mengintip ke
dalamnya. Begitu kotak itu terbuka, lepaslah segala penyakit, keputusasaan, dan
siksaan ke dunia. Satu-satunya obat penawar yang diberikan oleh dewa yang
berbelas kasih adalah harapan. Harapanlah yang memberi penghiburan di tengah
kesengsaraan. Mempunyai harapan berarti seseorang tidak terjebak dalam
keputusasaan.
Optimisme: Motivator Utama
Dari
titik pandang kecerdasan emosional optimisme merupakan sikap yang dapat
menyangga seseorang agar jangan sampai terjatuh ke dalam depresi ketika
mengalami kesulitan hidup. Seperti halnya harapan, yang merupakan kerabat
dekatnya, optimisme membawa banyak keuntungan dalam kehidupan. Optimisme adalah
motivator utama yang bisa digunakan dalam memprediksi keberhasilan seseorang.
Optimisme dan harapan, patah semangat dan putus asa adalah suatu hal yang dapat
dipelajari. Kedua hal ini didasari oleh suatu pandangan yang disebut dengan pendayagunaan diri.
Flow: Neurobiologi Keunggulan
Mihaly
Csikszentmihalyi, seorang ahli psikologi dari University of Chicago yang
mengumpulkan kisah-kisah tentang keadaan flow
(hanyut) yang dialami seseorang. Flow
adalah keadaan ketika seseorang sepenuhnya terserap ke dalam apa yang sedang
dikerjakannya. Perhatian hanya terfokus ke pekerjaan itu, kesadaran menyatu
dengan tindakan. Kebosanan, depresi atau kecemasan menghalangi tercapainya
keadaan flow.
Dalam keadaan flow, seseorang tidak lagi peduli bagaimana mereka bekerja, pada
pikiran sukses atau gagal. Kenikmatan tindakan itu sendiri yang memotivasi
mereka. Cara untuk mencapai keadaan flow salah satunya adalah dengan memusatkan
perhatian sepenuhnya pada tugas yang sedang dihadapi. Keadaan konsentrasi
tinggi merupakan inti flow. Flow merupakan keadaan yang bebas dari
gangguan emosional, jauh dari paksaan.
Keadaan flow memungkinkan orang untuk menangani
tugas-tugas yang paling menantang dalam bidang-bidang tertentu. Kunci menuju
keadaan flow adalah keadaan hanya
terjadi dalam jangkauan puncak kemampuan, di mana keterampilan telah terlatih
baik dan sirkuit saraf paling efisien.
Pembelajaran Dan Flow: Model Baru Dalam Pendidikan
Howard
Gardner, seorang ahli psikologi Harvard menganggap flow dan keadaan-keadaan positif yang mencirikannya sebagai salah
satu cara paling sehat untuk mengajar anak-anak, memberi motivasi mereka dari
dalam diri bukannya dengan ancaman atau iming-iming. Flow merupakan keadaan batin yang menandakan seorang anak sedang
tenggelam dalam tugas yang cocok. Seseorang harus menemukan sesuatu yang ia
sukai dan menekuninya baik-baik. Secara umum, model flow menyiratkan bahwa mencapai penguasaan keterampilan atau ilmu
pengetahuan apa pun idealnya harus berlangsung alami, sewaktu anak tertarik
pada bidang-bidang yang secara spontan dicintainya. Mengejar flow melalui proses belajar merupakan
cara yang lebih manusiawi, wajar, dan kemungkinan besar lebih efektif untuk
memanfaatkan emosi demi tercapainya tujuan pendidikan.
II. AKAR EMPATI
Empati dibangun
berdasarkan kesadaran diri. Semakin terbuka seseorang kepada emosi diri
sendiri, semakin terampil seseorang itu membaca perasaan. Kemampuan berempati
yaitu kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan orang lain, ikut berperan
dalam pergulatan arena kehidupan. Emosi jarang diungkapkan dengan kata-kata,
emosi jauh lebih sering diungkapkan melalui isyarat. Kunci untuk memahami
perasaan orang lain adalah mampu membaca pesan nonverbal: nada bicara,
gerak-gerik, ekspresi wajah, dan sebagainya.
Bagaimana Empati Berkembang
Akar empati
dapat dilacak hingga masa bayi. Praktis mulai saat mereka lahir, bayi akan
terganggu bila mereka mendengar bayi lain menangis. Respons ini dianggap
sebagai tanda-tanda awal empati. Istilah mimikri
motor merupakan arti teknis asli kata empati sebagaimana digunakan pertama
kalinya pada tahun 1920-an oleh E. B. Titchener, seorang ahli psikologi
Amerika. Dalam teorinya, Titchener berpendapat bahwa empati berasal dari
semacam peniruan secara fisik atas beban orang lain, yang kemudian menimbulkan
perasaan yang serupa dalam diri seseorang. Kemudian serangkaian studi oleh
Marian Radke-Yarrow dan Carolyn Zahn-Waxler pada National Institute of Mental
Health memperlihatkan bahwa sebagain besar perbedaan dalam kepekaan empati ini
ada kaitannya dengan bagaimana orangtua menerapkan disiplin pada anak-anak. Mereka
juga menemukan bahwa empati anak-anak dibentuk pula dengan melihat bagaimana
yang lain bereaksi dan meniru apa yang mereka lihat.
Anak Yang Tersetala Baik
Dalam
penelitian yang dilakukan oleh Daniel Stern, seorang psikiater, mengatakan
bahwa saat-saat yang paling penting adalah saat yang memungkinkan anak
mengetahui bahwa emosinya ditanggapi dengan empati, diterima, dan dibalas,
dalam suatu proses yang oleh Stern disebut penyetalaan (attunement). Penyetalaan terjadi tanpa disadari, sebagai bagian
dari irama hubungan. Penyetalaan amat berbeda dengan peniruan biasa. Dalam
penyetalaan, seseorang tahu apa yang dilakukannya, bukannya apa yang
dirasakannya.
Kerugian Salah Setala
Tiadanya kesetalaan dalam jangka panjang
antara orangtua dan anak akan menimbulkan kerugian emosional yang amat besar
bagi anak. Seorang anak akan menjadi pasif apabila orangtuanya kurang memberi
tanggapan akan emosi-emosi yang diberikan anak. Suatu studi terhadap para
penjahat yang melakukan tindak kejahatan paling keji dan paling brutal
menemukan bahwa satu-satunya ciri kehidupan kanak-kanak mereka menyiratkan
adanya penyia-nyiaan emosi dan kecilnya peluang mengalami proses penyetalaan.
Penyia-nyiaan emosi menumpulkan empati seorang anak di kemudian hari.
Neurologi Empati
Kondisi tubuh ternyata sangat
mempengaruhi empati seseorang. Sebuah laporan tahun 1975 meninjau beberapa
kasus yang pasiennya menderita luka tertentu di wilayah kanan lobus frontal
mempunyai cacat yang aneh: mereka tidak mampu memahami pesan emosional dalam
nada suara orang lain, meskipun mereka paham betul apa yang dikatakan orang
lain. Ucapan terima kasih yang bernada sarkastis, yang bernada syukur, dan yang
bernada marah semuanya bermakna netral bagi orang-orang semacam itu.
Sebaliknya, mereka yang mempunyai kekurangan yang amat berbeda dalam persepsi
emosional tidak mampu mengungkapkan emosi melalui nada suara atau gerak-gerik.
Empati membutuhkan cukup banyak ketenangan dan kesediaan untuk menerima,
sehingga sinyal-sinyal perasaan halus dari orang lain dapat diterima dan
ditirukan oleh otak emosional orang itu sendiri.
Empati Dan Etika: Akar Altruisme
Martin Hoffman seorang peneliti empati
berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab dengan berempati pada
orang lain, setiap orang didorong untuk memberikan bantuan. Tingkat empati
paling lanjut muncul ketika orang sudah sanggup memahami kesulitan yang ada di
balik situasi yang tampak. Pada tahap itu orang dapat merasakan kesengsaraan
suatu golongan, misalnya kaum miskin, kaum tertindas, maupun mereka yang
dikucilkan dari masyarakat. Empati mendasari banyak segi tindakan dan
pertimbangan moral. Semakin besar empati seseorang kepada orang lain, semakin
besar pula kecendrungannya untuk campur tangan atas masalah orang lain
tersebut.
Hidup Tanpa Empati: Pikiran Pemerkosa, Moral Sosiopat
Suatu cacat psikologis yang pada umumnya
ditemukan pada pemerkosa, dan banyak pelaku tindak kejahatan lain; mereka tidak
mampu berempati. Ketidakmampuan untuk merasakan penderitaan korbannya
memungkinkan mereka melontarkan kebohongan kepada diri mereka sendiri sebagai
pembenaran atas kejahatannya. Hilangnya empati sewaktu orang melakukan
kejahatan pada korbannya selalu merupakan bagian dari siklus emosional yang
mempercepat tindakan mereka. Bagi seorang psikopat/sosiopat, tindakan-tindakan
paling keji sekalipun tidak membawa mereka pada suatu rasa sesal. Mereka sama
sekali tidak mampu merasakan empati atau sentuhan nurani paling tipis
sekalipun. Here berpendapat bahwa seorang psikopat tidak akan mempedulikan
adanya hukuman yang akan dijatuhkan pada mereka atas perbuatannya.
III. SENI SOSIAL
Seni sosial merupakan suatu penanganan
emosi pada orang lain dalam suatu hubungan. Seni ini membutuhkan dua
ketrampilan yang matang pada orang yang bersangkutan, yakni manajemen diri dan
empati. Ketrampilan atas seni sosial menjadi
suatu kecakapan yang mendukung keberhasilan dalam pergaulan dengan orang lain.
Kemampuan sosial ini memunginkan seseorang membentuk hubungan, untuk
menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan
dan mempengaruhi, membuat orang lain merasa nyaman.
Tunjukkanlah Emosi
Salah satu kunci kecakapan sosial adalah
seberapa baik atau buruk seseorang mengungkapkan perasaannya sendiri. Emosi itu
harus ditunjukkan. Namun, bagaimana seseorang mampu menempatkan dan menggunakan
emosinya dengan baik dan di saat yang tepat merupakan faktor penting dalam
kecerdasan emosional. Keterampilan emosi seseorang itu berbeda-beda. Semua
emosi mempunyai konsekuensi langsung atas pengaruh yang ditimbulkannya pada
orang lain. Ada tiga jenis tatakrama tampilan dasar. Pertama adalah
meminimalkan tampilan emosi, kedua melebih-lebihkan apa yang dirasakan dengan
membesar-besarkan ungkapan emosi, ketiga mengganti satu perasaan dengan perasan
yang lain.
Ketrampilan Mengungkapkan Ekspresi Dan Penularan Emosi
Emosi itu menular meskipun kadang tidak
terlalu kentara dalam setiap perjumpaan. Kita saling mengirim dan menangkap
suasana hati orang lain. Isyarat emosional yang kita kirimkan mempengaruhi
orang-orang yang sedang bersama kita. Semakin terampil kita secara sosial,
semakin baik kita mengendalikan sinyal emosi yang kita kirimkan, dan tetap
berhati-hati jangan sampai luapan emosi yang kita kirimkan mengganggu dan dapat
merusak perjumpaan. Kecerdasan emosional mencakup penguasaan dalam penularan
emosi yang positif. Penularan emosi ini adalah beal yang sangat berharga dalam
suatu interaksi sosial.
Dasar-Dasar Kecerdasan Sosial
Kecerdasan
emosional merupakan keterampilan mengenali perasaan-perasaan orang lain dan
menjalin hubungan dengan cepat dan
lancar dengan mereka. Hatch dan Gradner membagi kecerdasan antar pribadi dalam
empat komponen bakat: pertama mengorganisasi
kelompok yaitu keteramp seorang
pemimpin, menyangkut memprakarsai dan mengkoordinasi upaya menggerakkan orang.
Kedua, merundingkan pemecahan, yaitu bakat seorang mediator
yang mencegah konflik atau menyelesaikan konflik-konflik.
Terbentuknya Ketidakmampuan Sosial
Para ahli
psikologi memberi istilah disemia
untuk ketidakmampuan belajar dalam wilayah pesan nonverbal. Ketidakmampuan ini
terletak pada ketidakpekaan akan wilayah ruang pribadi, sehingga seorang
penderita seringkali berdiri terlampau dekat dengan lawan bicara atau
menempatkan barang-barang miliknya ke wilayah orang lain, ketidakmampuan dalam
menggunakan bahsa tubuh, keliru memanfaatkan ekspresi wajah misalnya kontak
mata.
“Kami Membencimu”: Di Ambang Batas
Seseorang
membutuhkan kecakapan sosial untuk mengamati, menafsirkan, dan merespon
isyarat-isyarat antar pribadi dan emosional. Biasanya pendatang baru sekedar
melihat-lihat dulu sejenak, kemudian bergabung pelan-pelan pada awalnya,
kemudian menunjukkan keberadaannya dengan langkah yang amat hati-hati. Terlalu
cepat mencoba menunjukkan keberadaan diri dan tidak menyelaraskan diri dengan
kerangka acuan kelompok, justru mengakibatkan mereka diabaikan atau ditolak
oleh kelompok. Hal ini cenderung dilakukan oleh anak yang tidak populer.
Sebaliknya anak yang populer menghabiskan waktu untuk mengamati suatu kelompok
dengan tujuan memahami apa yang sedang berlangsung sebelum mereka berusaha
masuk, dan kemudian melakukan sesuatu yang tampaknya akan diterima.
Kecemerlangan Emosi
Apabila tes
keterampilan sosial adalah kemampuan untuk menenteramkan emosi yang membebani
diri dalam diri orang lain, maka menenangkan seseorang yang berada pada puncak amarah barang kali ukuran
tertinggi dari keahlian tersebut.
1 komentar:
oh