Mitos di Lamaholot - Flores Timur

MITOS “JEDO PARE TONU WUJO”
DALAM BUDAYA LAMAHOLOT- FLORES TIMUR

Wb : Blasius Ola Doren

1. PENDAHULUAN
Setiap manusia dalam suatu kelompok masyarakat tertentu pastinya memiliki budayanya masing-masing. Kebudayaan yang dimiliki itu bisa jadi warisan para leluhur ataupun juga suatu hasil kesepakatan yang dibuat oleh masyarakat tersebut untuk dijadikan sebagai pedoman hidup dalam masyarakat. Masyarakat yang berbudaya tentu menghormati serta menghargai budayanya sendiri juga budaya yang dimiliki oleh kelompok masyarakat lain.


Dalam banyak hal, manusia dibentuk oleh budayanya. Ada yang berkata: “Budaya mencerminkan bangsanya”. Ungkapan ini terasa mengena sebab budaya itu ada karena ada manusia yang menghasilkan dan membentuknya demi kelangsungan hidup manusia di dunia ini. Tanpa budaya, manusia mengalami ketakteraturan hidupnya. Budayalah yang membuat manusia memiliki martabat serta bernilai di mata manusia yang lain.

Indonesia memiliki beragam suku dan budaya. Salah satu budaya yang hendak dibahas di sini adalah budaya yang dianut oleh masyarakat flores timur. Untuk itu penulis mau memaparkan sedikit mengenai mitos Jedo Pare Tonu Wujo yang hingga sekarang dihidupi oleh masyarakat flores timur.

 

2. MITOS JEDO PARE TONU WUJO
Mata pencaharian orang-orang  Flores Timur dahulu kala adalah nelayan dan meramu hasil hutan. Menjadi nelayan adalah pekerjaan kaum lelaki sedangkan meramu hasil hutan adalah tugas kaum wanita Flores Timur. Dengan mata pencaharian yang sederhana itu, penduduk setempat seringkali ditimpa bencana kelaparan. Apalagi pada waktu tanaman bahan makanan seperti padi, jagung kacang-kacangan, labu, jewawut dan lain-lain belum dikenal oleh masyarakat. Hingga pada suatu waktu terjadi bencana kelaparan yang hebat di Flores Timur. Bencana kelaparan itu menimpa seluruh penduduk termasuk satu keluarga terdiri dari delapan bersaudara. Kedelapan bersaudara ini terdiri dari tujuh orang laki-laki dan seorang perempuan yang bungsu. Nama si bungsu ini ialah Jedo Pare Tonu Wujo.
Dikisahkan bahwa pada suatu musim kelaparan yang hebat, Jedo, nama panggilan si bungsu ini, mengajak saudara-saudara untuk menebang hutan dan membuat kebun. Setelah kebun itu selesai dipagari maka musim hujan pun tiba. Ketujuh saudara laki-laki Jedo bingung karena mereka tidak tahu apa yang akan mereka tanam di dalam kebun itu. Dalam kebingungan itu, pada suatu malam dengan air mata berlinang, Jedo meminta kepada kakak-kakaknya agar keesokan harinya mereka pergi bersama-sama ke kebun yang mereka buat. Di sana Jedo akan memberikan petunjuk lebih lanjut mengenai apa yang harus kakak-kakaknya perbuat agar kebun itu menghasilkan bahan makanan yang berlimpah bagi mereka. Keesokan harinya ketika fajar baru menyingsing, Jedo membangunkan kakak-kakaknya untuk berangkat ke kebun. Sepanjang perjalanan kakak-kakak Jedo hanyut dalam kebingungan dan semuanya membisu seribu bahasa. Ketika matahari mulai memancarkan sinarnya di ufuk timur mereka tiba di kebun. Lalu Jedo meminta kakak-kakaknya memancang sebatang kayu di tengah-tengah kebun itu. Lalu Jedo meminta pula agar sebuah batu ceper yang cukup besar diangkat dan diletakan berdampingan dengan batang kayu yang sudah di pancang. Kemudian Jedo duduk bersila pada batu ceper itu kemudian memanggil kakak-kakaknya untuk berdiri mengelilinginya. Kemudian dengan tenang Jedo berkata kepada kakak laki-lakinya yang paling muda, katanya “Dengarlah pesan saya dan setelah saya selesai berpesan kerjakanlah apa yang saya pesankan. Jangan takut dan jangan sedih sebab apa yang kupesankan ini sesuai dengan kehendak Yang Maha Kuasa. Inilah pesanku, yaitu penggallah kepalaku, dan jika nyawaku sudah melayang, biarkan darahku membasahi batu tempat kududuk sekarang dan terus mengalir ke seluruh pojok kebun ini. Setelah itu kamu semua boleh pulang ke rumah, dan enam hari lagi kamu boleh kembali lagi ke sini!” Sesudah berpesan, Jedo menundukkan kepalanya, lalu dengan sedih saudara-saudaranya memenggal kepala adik perempuan mereka. Darah adiknya itu dibiarkan membasahi batu ceper itu dan terus merembes ke semua pojok kebun mereka. Setelah itu ketujuh bersaudara itu kembali ke rumah mereka dengan hati yang sangat sedih. Enam hari kemudian ketujuh bersaudara itu datang kembali ke kebun sesuai dengan pesan Jedo. Setiba di kebun, mereka heran dengan perasaan gembira dan sedih silih berganti, sebab di seluruh kebun itu tumbuh berbagai pangan yang sangat subur, yaitu padi, jagung, labu dan jewawut. Beberapa bulan kemudian musim panen pun tiba. Seluruh hasil panen itu mula-mula dikumpulkan di atas batu ceper sebagai suatu peringatan. Setelah semua itu hasil panen terkumpul, barulah diangkut ke rumah dan dimasukan ke dalam lumbung.
 Sejak itu ketujuh bersaudara serta seluruh keturunannya mulai hidup makmur dan bebas dari bencana kelaparan. Itulah sebabnya sampai hari ini setiap sawah dan kebun di sana selalu ada batu ceper dan tiang pancang di dalamnya. Batu ceper dan tiang pancang itu disebut Jedo Pare Tonu Wujo. Itulah tempat meletakan semua bibit yang hendak ditanam dan tempat mengumpulkan seluruh hasil panen sebelum dibawa ke rumah. Hal ini dibuat sebagai kenangan dan sekaligus sebagai penghormatan bagi Jedo Pare Tonu Wujo yang telah mengorbankan seluruh jiwa dan raganya demi kemakmuran saudara-saudaranya. Kini Jedo Pare Tonu Wujo, telah tiada dan tinggal kenangan. Tetapi cita-cita dan pengorbanannya akan tetap dikenang sepanjang masa.

2. APLIKASI DARI MITOS “JEDO PARE TONU WUJO”
            Masyarakat Flores Timur sangat menghormati padi sebagai makanan pokok mereka. Hal ini dikarenakan mitos mengenai asal mula padi adalah dari pengorbanan diri seorang putri yang bernama Jedo Pare Tonu Wujo. 

Mitos tentang Jedo Pare Tonu Wujo ini, hingga sekarang dihidupi oleh masyarakat flores timur terutama dalam pelaksanaan upacara menanam padi yang dikenal dengan nama Raran Tonu Wujo.[1] Upacara ini dilakukan dengan maksud untuk menghormati Jedo Pare Tonu Wujo yang mengorbankan diri demi kemakmuran masyarakat flores timur. Oleh karena itu, berbicara mengenai mitos tentang Jedo Pare Tonu Wujo tidak terlepas dari suatu upacara Raran Tonu Wujo. Sebab dari upacara atau ritus menanam padi inilah masyarakat flores timur menghidupi mitos tersebut hingga sekarang. Maka perlu juga diketahui bagaimana upacara atau ritus itu dilaksanakan.

2.1 Upacara “Raran Tonu Wujo”
Upacara dimulai dengan meletakkan batu ceper pada tengah-tengah kebun. Di belakang batu itu ditancapkan sebatang kayu kukung kuning simbol dalam doa yang dipakai kata Beledan Nama Kukun Bala[2]. Di atas batu ceper tersebut diletakkan keranjang yang sudah berisi benih padi. Lalu keranjang tersebut diikat dengan pengikat dari kain pada tonggak tersebut lalu ditutup dengan pakaian pesta tonu wujo( pakaian adat ).
            Dalam upacara adat ini, dewi padi hadir dalam dua bentuk yakni keranjang dalam bahasa adat disebut era puken[3] yang sudah diisi penuh dengan benih padi yang sudah diikat pada tonggak kayu kukung bagai seorang perempuan yang melahirkan melambangkan tubuh tonu wujo. Pada waktu yang sama itu juga dewi padi diwakili oleh seorang gadis yang duduk di samping keranjang itu dengan kaki terentang. Di hadapannya duduklah seorang gadis yang lain yang dalam upacara pelakonan mitos mewakili ibu tonu wujo (ose longo’ laju burak ). Saat menabur benih tersebut ibu itulah yang membagikan benih-benih padi. Umumnya, kedua perempuan tersebut adalah saudari perempuan dari pemilik kebun atau sekurang-kurangnya dari suku yang sama. Sesudah duduk, para anggota kelompok mengelilingi kedua wanita itu dan dengan resmi membuka buah pinang dan mengunyah sirih pinang bersama kedua perempuan tersebut seperti yang pernah dilakukan oleh saudara-saudara tonu wujo.
            Sampai sekarang mereka menghiasi perempuan dengan anting dan kalung pada leher. Sementara itu tua-tua menyiapkan makanan persembahan bagi roh-roh berupa anyaman-anyaman dari daun lontar yang diisi dengan beras serta potongan-potongan ruas bambu yang berisi air dan tuak. Apabila sudah selesai, tuan tanah berdiri mengangkat doa yang pertama. Semua doa itu berjumlah 13 doa yang didahului dengan mengucapkan nama-nama dari dewi padi. Doa-doa tersebut di antaranya adalah sebagai berikut :  


Bahasa Daerah Lamaholot
( Larantuka)
         Bahasa Indonesia

      nogo gunun ema
      hingi kusi murin
      wuan moten nitun wenge
      nogo gunun ema
      hingi kusin murin wuan mota
 dengarkanlah kami
 condongkanlah telinga
kepada kami





ata na’en na’a
kala tiro tuan
ama kala tada eran
pito pai gere gitan
lema pai lodo reren

sudah saya sampaikan kepada saudara-saudara
waktu menabur benih sudah tiba
tenda-tenda sudah terpenuhkan
bintang tujuh sudah naik ke langit
dan antares sudah turun ke bawah horison


      na’a kala buka kenita
ama kala prami dan
nogo pai lo’ok lein ema
pai dawa lima
saya minta saudara-saudara membuka pintu
mereka sudah membuka lumbung
nogo ema bangkit dan berjalan

      na’a kala pake 
dike ama kala saren sare
neban lodo namo tana
      luan gere poe rera
saudara saya panggil
memakaikan pakaian dengan baik
ia berpakaian dengan semarak
tepi sarungnya jatuh sampai ke tanah
ikatan sarung yang kuat naik ke atas


      na’a nolo tonu dore
ama waen wujon teden
tiro pia sungai
     naman tada pia baka walan

saudara-saudara berjalan di depan
gadis ikut di belakang saudara-saudara
mereka berjalan ke tengah-tengah kebun
mereka naik ke tempat ladang tanaman

Setiap kali doa itu diucapkan, diedar satu butir telur ayam dari tangan ke tangan dan telur dipecahkan dengan parang lalu kuning telurnya dibasahi dengan pinang yang ada di dalam lumbung padi. Lalu dibawa persembahan ke sudut-sudut kebun itu sebagai bagian dari persembahan untuk leluhur.
Ayam, kambing dan babi yang dibawa ke kebun dibunuh sebagai kurban. Darahnya diolesi pada keranjang padi dan tonggak tersebut. Sebagai penutup upacara itu dibunuh lagi satu ekor kambing. Perut kambing dibuka dan diambil hatinya lalu diserahkan kepada seorang dari orang tua yang tahu menerjemahkan atau seni memeriksa hati binatang. Kalau ada warna atau pembengkakan pada pinggir hati itu maka kurban tersebut diterima oleh roh-roh dan para leluhur. Apabila ada tanda-tanda yang kurang menguntungkan maka diulang pemeriksaannya. Di tengah orang-orang yang sedang duduk berdoa diletakkan 3 buah kelapa muda yang diolesi darah binatang tadi. Setelah selesai doa yang ketiga, 3 buah kelapa muda dipotong secara memanjang dengan parang dan airnya disirami pada benih padi dan tanah yang mau ditanam. Hal ini dimaksudkan agar tanah yang masih panas oleh pembakaran didinginkan atau disejukkan oleh air kelapa itu. orang yang membelah kelapa itu mengikat kedua belahan kelapa tersebut dengan sabut dan digantungkan pada tonggak kelahiran yang ada di belakang batu (melambangkan kepala dewi padi yang dibelah oleh saudaranya). Batu mengingatkan kematiannya dan tonggak melambangkan kelahiran padi dalam bahasa adat : hukut era wekan nein (mengenang padi, membagi persembahan).  
Demikianlah ritus atau upacara menanam padi (menabur benih) menurut budaya masyarakat Flores Larantuka.[4]

3. NILAI-NILAI YANG DIHIDUPI DALAM UPACARA “RARAN TONU WUJO”
            Ada begitu banyak nilai yang bisa ditimba dari upacara “Raran Tonu Wujo” ini, diantaranya:
1. Nilai Magis
            Upacara “Raran Tonu Wujo” ini memiliki daya magis yang membuat masyarakat menyadari bahwa hasil panen yang mereka peroleh bukanlah dari hasil usaha mereka semata tetapi karena ada campur tangan Tuhan dan leluhur yang mereka hormati.
2. Nilai Semangat Persaudaraan dan Gotong-Royong
            Upacara menanam padi ini memunculkan nilai semangat persaudaraan dan gotong-royong  di antara masyarakat flores timur. Nilai semangat persaudaraan dan gotong-royong yang diperoleh merupakan pedoman serta pegangan bagi masyarakat setempat dalam bekerja terutama bekerja di ladang.
3. Nilai pengorbanan
            Masyarakat flores timur selalu memberi diri dalam membantu sesama. Pengorbanan yang tulus menjadi suatu tradisi apabila terdapat anggota masyarakat yang ingin melakukan upacara menanam padi. Sebab tanpa pengorbanan, tidak akan pernah terjalin relasi yang baik di antara masyarakat yang satu dengan yang lain.
4. Nilai kegembiraan dan sukacita
            Upacara menanam padi juga telah memunculkan semangat kegembiraan yang sukacita bagi masyarakat setempat khususnya yang sedang melakukan upacara tersebut. Dalam kegembiraan itu, mereka akan tetap bersemangat dalam bekerja sehingga pekerjaan yang sebenarnya dirasakan membosankan dan melelahkan ini, menjadi sebuah semangat baru.
5. Nilai kesetiaan
            Setia pada tanggung jawab yang dipercayakan oleh anggota masyarakat adalah suatu hal baik yang dihidupi oleh masyarakat flores timur. Sebab orang bisa setia kalau memiliki rasa persaudaraan di antara sesama.

5. PENUTUP
Budaya tidak dapat dihilangkan namun dalam perkembangan zaman bisa diubah selama dirasakan membawa dampak atau pengaruh yang baik bagi masyarakat. Tidak mudah mengubah sebuah budaya dalam sekejap mata seperti membalikkan telapak tangan. Tetapi melalui proses dan  adanya kesepakatan di antara anggota kelompok dalam lingkup masyarakat tertentu maka akan dicapai kesatuan budaya yang utuh.  
 Di akhir kata penulis mau mengatakan bahwa budaya yang telah diwariskan oleh para leluhur kita hendaknya selalu dipegang teguh sebagai kekayaan budaya. Sebab manusia akan semakin bermartabat jika ia berbudaya. Budaya menentukan cirri khas hidup manusia itu sendiri.



[1] Menurut asal katanya, “Raran Tonu Wujo” berasal dari bahasa Lamaholot. Secara harafiah, kata “Raran” berarti jalan dan “Tonu Wujo” adalah nama seorang gadis Lamaholot yang telah berkorban demi kemakmuran hidup keluarganya dan bagi masyarakat flores timur hingga sekarang. Untuk itu masyarakat Lamaholot mengartikan Tonu Wujo sebagai padi karena dari Dialah padi itu berasal. Maka jika digabungkan “Raran Tonu Wujo” berarti jalan padi. Namun secara etimologis, “Raran Tonu Wujo” diartikan sebagai menanam padi. Maka upacara Raran Tonu Wujo  berarti upacara menanam padi atau menabur benih.
[2]Bledan nama kukun bala adalah nama sandaran dari kayu tempat bersandar perempuan yang hendak melahirkan.
                [3]Era puken : asal biji-biji padi atau dengan kata lain tempat untuk menyimpan padi. Biasanya terbuat dari anyaman daun  lontar 
                [4] Karol Heinzkohl, Raran Tonu Wujo (Maumere: Ledalero, 2009), hlm. 380.