MEMULIAKAN ALLAH MENGANGKAT MANUSIA (Menurut Romo Mangun)

      Setiap orang ingin mengenal dan mengetahui Allah Penciptanya lebih intim, karena menurut pemahaman lazim, banyak orang berpendapat bahwa Allah itu jauh, sulit dikenal apalagi ditemukan. Namun Romo Y. B. Mangunwijaya yang lebih dikenal dengan Romo Mangun memperlihatkan Yang-Ilahi itu ada, dikenal, dipahami, dan sangat dekat dalam kehidupan manusia sehari-hari. Pemikiran Romo Mangun tentang Allah Yang-Ilahi inilah yang akan didalami dalam tulisan ini.

1.      Riwayat Hidup
Romo Mangun lahir di Ambarawa, Jawa Tengah pada 6 Mei 1929. Nama lengkap beliau adalah Yusuf Bilyarta Mangunwijaya. Ayahnya bernama Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan ibunya bernama Serafin Kamdanijah. Ia memiliki 7 orang saudari dan 3 orang saudara. Romo Mangun mengenyam pendidikan di SD Fransiskus di Muntilan, Sekolah Teknik Mataram Jetis dan SLA di Malang. Ia pernah ikut dalam perang dan pengalaman itulah yang menumbuhkan semangat nasionalisme dalam dirinya. Pada tahun 1951 ia masuk Seminari di Jalan Code (1951-1952) yang kemudian pindah di Mertoyudan, Magelang (1952-1953), dan melanjutkan studi ke Institut Filsafat dan Teologi “Sancti Pauli” Yogyakarta. Romo Mangun ditahbiskan menjadi imam oleh Mgr. Soegijaparanata pada 8 Desember 1959[1].
Setelah ditahbiskan Romo Mangun mendapat tugas untuk studi Tehnik Sipil di Jerman[2]. Disana ia tinggal di sebuah gudang, sambil menjadi penjaga malam di TK Hati Kudus Yesus, Aachen. Pengalaman ini menumbuhkan kesadaran untuk berbagi dan berkorban bagi orang kecil. Ia aktif menulis. Tercatat ada 30 karya nonfiksi dan 10 karya fiksi dan meraih banyak penghargaan di bidang sastra dan arsitektur. Romo Mangun wafat pada 10 Februari 1999 dalam suatu seminar di Hotel Le Meridien Jakarta dan dimakamkan di Seminari Tinggi Jalan Kaliurang Yogyakarta. [3]

2.      Romo Mangun dan Kali Code
Kali Code merupakan nama yang dipakai untuk menunjuk pada Sungai Code dan pemukiman disekitarnya. Kali Code yang membelah kota Yogyakarta merupakan pemukiman kaum miskin. Dahulu, pemukiman ini sangat kumuh, suram dan tidak teratur. Pekerjaan warganya adalah pemulung, buruh kasar dan lainnya. Mereka membangun rumah mereka dengan kardus atau plastik. Mayoritas penduduk tidak memiliki sertifikat tanah dan tidak masuk dalam data kependudukan kota Yogyakarta.[4] Kali Code juga menjadi tempat persembunyian penjahat dan tempat pembuangan sampah[5]. Karena berada di daerah kali daerah ini sering mengalami banjir karena luapan air Kali Code, seperti yang terjadi pada tahun 1984, pemukiman ini dilanda banjir besar. Karena situasi seperti itu, Pemerintah Kota Yogyakarta ingin menggusur pemukiman ini tahun 1986[6].
Kini, pemukiman Kali Code sudah diakui sebagai RT 001 RW 001 Kelurahan Kota Baru, Yogyakarta. Pemukiman menjadi asri, tertata rapi dan bahkan pernah mendapat juara kebersihan lingkungan[7]. Di sana juga sudah tersedia berbagai fasilitas umum milik Negara, seperti tempat bermain, WC umum, rumah susun yang sehat, balai warga, balai serba guna, perpustakaan dan lainnya. Data 2007 penghuni kampung 54 KK (186 jiwa)[8]. Warga yang semula sebagai pemulung kini rata-rata bekerja sebagai pedagang, tukang parkir, dan penjaga toko. Semua ini berkat kehadiran Romo Mangun.
              Romo Mangun adalah sosok yang sangat memperhatikan segala persoalan-persoalan yang menyangkut kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan. Terutama bila persoalan-persoalan tersebut menimpa orang kecil dan tertindas. Dalam hal ini ia lebih menjalankan tugas sebagai nabi[9] yang bersuara lantang membela rakyat jelata berdasarkan situasi konkrit. Ia juga rela tinggal bersama orang-orang kecil, yaitu dipinggir Kali Code di bawah Jembatan Gondolayu. Di sana, ia tinggal di sebuah gubuk yang terbuat dari bambu selama enam tahun (1980-1986)[10]. Dengan berpedoman hormat pada martabat manusia, Romo Mangun terus memperjuangkan kesejahteraan rakyat kecil. Ia mewujudkannya bukan hanya dalam kata, juga melalui perbuatannya. Terhadap pemerintahan Orde Baru ia mengkritik karena mengabaikan masyarakat kecil demi kepentingan pribadi. Negara harus mengabdi kepada masyarakat terutama rakyat kecil. Masa Orde Baru, kekerasan demi kekerasan sering terjadi dan menjadi sorotan.[11] Baginya kekerasan adalah bentuk pembodohan. Dengan alasan inilah Romo Mangun juga terjun di dunia pendidikan. Karena bagi dia melalui pendidikan manusia akan terhindar dari kekerasan dan penindasan. Segala usaha yang ia buat karena ia ingin semua manusia mengalami kemerdekaan dan menjadi dirinya sendiri. Pengaruh Mgr. Soegijaparanata ia sangat mencintai Indonesia. Ia ingin dalam negara Indonesia ini tidak ada yang tersingkirkan, melainkan melibatkan semua orang termasuk orang-orang yang sederhana yang oleh banyak orang mereka yang harus disingkirkan dan tidak diperhitungkan[12].
              Perkembangan Kali Code diakuinya ia belum berhasil sepenuhnya.[13] Terutama dalam hal sumber daya manusia, yakni kepemimpinan masih ditangan orang nakal. Dalam lingkungan kumuh masalah utama adalah kemiskinan, pelacuran dan kriminalitas[14].
               Sebagai bentuk keprihatinannya kepada masyarakat miskin ke arah menjadi semakin cerdas adil dan manusiawi, Romo Mangun mendirikan Yayasan Dinamika Edukasi Dasar. Bagi Romo Mangun, pendidikan dasar jauh lebih penting daripada pendidikan tinggi. Maka berdirilah SD Kanisius Mangunan, Kalitirto, Berbah, Sleman. Kurikulumnya sedikit berbeda dengan pendidikan yang dibuat oleh pemerintah[15].

    3. Pandangan Romo Mangun tentang Humanisme dan Kaitan dengan yang Transenden
a.      Humanisme
Berbicara tentang Romo Mangun adalah juga berbicara tentang humanisme. Hal ini tampak dalam tindakannya yang terus memperjuangkan hak-hak rakyat kecil. Bagi Romo Mangun, pengabdi rakyat kecil bukanlah mendoktrinir dan memimpin, melainkan mengaktualisasikan potensi yang sudah ada dalam rakyat, namun belum lepas dari selubung.[16] Potensi  yang ada dalam diri masyarakat itu sangat kaya dan bermutu, namun tidak dapat dikembangkan karena tidak mempunyai dasar yang kuat. Hal seperti ini sangat tampak dalam diri rakyat kecil. Alasan inilah yang menggerakkan Romo Mangun untuk memperjuangkan dan mengarahkan rakyat kecil menjadi semakin cerdas dan manusiawi.
Dalam keterkaitannya dengan tema pokok “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia”, tepatlah kelompok pengupas bertanya, Siapa Allah? Dan dalam cara apa manusia memuliakan Allah?, lalu siapa manusia? Dan siapa manusia miskin itu? Apa penyebabnya dan bagaimana Romo Mangun mengentaskannya? Pertanyaan-pertanyaan ini merupakan pertanyaan Filsafat.
Dalam filsafat Antropologi, manusia memperkenalkan diri sebagai mahluk dinamis, paradoksal, multidimensional dan religius. Penghayatan manusia sebagai mahluk religius, manusia terarah pada Tuhan. Manusia juga berhubungan dengan  ketiga relasi yang eksistensial; cinta sesama-cinta dunia-cinta Tuhan. Penghayatan akan ketiga cinta itu mendorong manusia untuk terus menghayati kehadiran Allah Sang Pencipta. Pada saat itulah manusia menemukan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan dihayati multi-dimensional oleh orang yang melihat dengan hati nurani.[17]
Dalam diri manusia yang dinamis, ia menuju pada kebenaran, berproses dan berkembang. Sedangkan sebagai manusia yang paradoksal, ada kecenderungan memilih yang satu dan menolak yang lain. Jadi ada kemungkinan untuk menyingkirkan, menghilangkan nilai, martabat sebagai manusia.[18] Perilaku ini mengindikasikan pemiskinan bagi manusia yang tidak punya kuasa, lemah dalam kata, pikiran dan pendidikan. Berlanjut dengan pertanyaan “Siapa Manusia Miskin?” Romo Mangun yang adalah filsuf, teolog, rohaniwan telah menemukan jawaban yang tepat dan jelas yakni, Manusia Kali Code dan Manusia Kedung Ombo, dan tentu masih banyak lagi di tempat yang berbeda. Dia menilik secara dalam dan tertemukan segala macam keprihatinan, kesedihan, diskriminasi dan yang lebih mengerikan adalah, pembunuhan hak dan penindasan martabat sebagai manusia yang adalah sesama bagi manusia lain. Manusia warga Kali Code adalah anawim. Anawim adalah manusia yang didinakan dan terjepit. Situasi inilah yang menjadi pekik permohonan yang berkumandang menembus ke telinga Yahwe, dan tertangkap oleh mata, telinga, perasaan dan pikiran Romo Mangun.
Romo Mangun menelisik lebih jauh, yang menjadi penyebab manusia miskin tetap, menjadi manusia miskin adalah perkembangan Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Industri dan Bisnis (ITIB). Wajah ITIB Indonesia adalah kapitalis. ITIB selalu “berproses” berbuah tertentu, tidak netral dan mengarah pada simbol, ungkapan, dan wacana. Ketiga sistem kapitalis-humanis. Kapitalis berkehendak pemilikan dan penguasa alat ditangan perorangan/swasta. Sedangkan humanis berkendak dalam tangan “masyarakat”-“negara”. Lalu pertanyaannya siapa masyarakat dan siapa Negara? Tapi yang terpenting pemilikan dan penguasaan alat-alat produksi belum menyentuh pertanyaan; bagaimana bekerja, bertabiat, bercenderung dan berpengaruh pada manusia? Boleh jadi itu suatu yang otonom yang melepas diri dari kedaulatan manusia dan semakin bertingkah totaliter.[19]
Dalam situasi manusia yang tergerus, baik harkat dan martabat, upaya yang ditempuhi Romo Mangun adalah merealisasikan konsep kearsitekturannya. Arsitektur digumulinya dengan segenap-seluruh jiwa raganya mampu menjembatani pembangunan total-manusia. Di Kali Code ia menggerakkan kesatuan, belajar dan kerjasama. Alternatif penanganannya dengan “Konsep Pemukiman Kooperatif Gotong Royong Pancasila”.
Arsitek humanis ini mampu mengubah tempat kumuh menjadi layak dihuni terutama bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Ia percaya pada kekuatan cintakasih pada sesama. Cinta harus diungkapkan dengan kerja nyata dengan mensosialisasikan nilai-nilai hidup. Yang menjadi perbedaan mendasar dengan filsuf humanis lainnya adalah Romo Mangun membangun filsafat humanisnya berlandaskan pada kekuatan Yang-Ilahi, Allahnya. Yang-Ilahi dilibatkan dalam karya-karyanya dalam membangun keberadaan manusia untuk menghantar manusia pada keberadaban yang sejati.

b.      Yang-Ilahi
“Pemujaan kepada Tuhan Yang Mahabesar diungkapkan lewat pengangkatan manusia ke taraf kemanusiaan yang layak, sebagaimana dirancang Tuhan pada awal penciptaan, tetapi dirusak oleh kelahiran hukum rimba buatan manusia.”[20] Inilah ungkapan Romo Mangun yang sering tampak dalam setiap tulisannya. Dalam artikel “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia”, sang tokoh mulia ini mau mengangkat realitas dan membebaskan manusia yang tersakiti dari kuasa.
Tuhan yang menjadi Manusia Miskin memberi suri teladan yang total. Jabatan keimamatannya itu telah disalurkan dalam karya yang real, suatu karya yang menyentuh hati nurani manusia lain. Dalam keberpihakannya kepada orang kecil, pantaslah sebutan budayawan, intelektual,guru, sastrawan, pekerja sosial, pejuang kemanusiaan, rohaniwan dan nabi di jaman sekarang, melekat padanya. Pangkat imamat, rohaniwan, nabi ia sandang karena ia meletakkan titik tolaknya pada relasi dengan Yang-Ilahi[21]. Pengungkapan akan yang Yang-Ilahi  itu, telah teraplikasikan dan terbuktikan, dan tidak hanya pada retorika daan sebuah konsep belaka.
Lalu, apa yang menjadi barometer keterbuktian itu? Terentaskanlah “Manusia Kali Code” dan “Manusia Kedung Ombo” dari perampokan hak dan milik sebagai manusia bermartabat. Sebagai manusia beragama yang merujuk pada kelembagaan kebaktian pada Yang Ilahi atau “Dunia Atas” dalam aspeknya yang resmi, yuridis, peraturan dan hukum-hukumnya. Sebagai manusia religius Romo Mangun juga melihat aspek”di dalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang misteri bagi orang lain, Aspek-aspek itu didasarkan karena menapaskan intimitas jiwa yakni cita rasa yang totalitas (termasuk rasio dan rasa manusiawi). Konsep “Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia” terpondasikan akan kekuatan yang ia timba dan pelihara dalam penyembahan, doa dan kurban Ekaristi. Ekaristi yang menjadi puncak dan hidup umat kristiani itu sungguh dihayati dalam hidupnya sebagai seorang gembala. Dari sini mengalir segala keprihatinan dan keterlibatannya yang total kepada orang kecil. Karena baginya, pemujaan kepada Yang-Ilahi tidak berkutat pada penyembahan, doa-doa dan ritual tetapi yang paling utama adalah perhatian dan mengangkat manusia lemah menjadi lebih manusiawi.[22] Inilah karya praksis berpastoral yang mampu menjawab masalah dari kehidupan nyata. Romo Mangun telah bertindak konkret, aktual dan memberi jawaban yang lama tersembunyi itu.

4.      Rangkuman
Zaman Renaissance dikenal dengan Humanisme Renaissance, yakni penekanan pada individualisme, yakni paham akan manusia sebagai pribadi perlu diperhatikan kesanggupan dan kebutuhannya tidak bisa disamaratakan. Dan zaman ini bukan hanya sebagai puncak humanisme, melainkan juga keagamaan menemukan hakekatnya, dan semangat keduniaan sementara menyusut.[23] Sedangkan pada zaman Aufklarung penghormatan terhadap manusia  merupakan ciri penting .[24]
        Seperti Masa Pencerahan (aufklarung), Romo Mangun datang mencerahkan situasi Kali Code yang suram. Pendapat Romo Mangun yang mengatakan dengan pendidikan seseorang dapat bebas dari ketertindasan dan kekerasan[25] memiliki persamaan dengan Immanuel Kant. Kant dalam Prinsip Hormat terhadap Pribadi mengatakan “bertindaklah sedemikian rupa sehingga engkau selalu memperlakukan umat manusia entah dalam pribadimu atau dalam pribadi orang lain sekaligus sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana[26]”. Seorangpun tidak boleh diremehkan.
        Romo Mangun sungguh menjalankan tugas kenabiannya dengan baik. Teladan utamanya adalah Yesus Kristus yang lahir dalam pangkuan orang-orang dina, yang merendahkan diri dengan menjelma menjadi manusia. Romo Mangun juga menjalankan tugas kegembalaannya berbeda dengan yang lazim, seperti Yesus yang menjungkirbalikkan norma yang biasa, yakni dengan tinggal di luar tembok gereja dalam sebuah gubuk bambu di bawah jembatan. Suatu tindakan yang belum pernah terjadi hingga pada masa itu.  Tidak dapat disangkal, tindakan itu sangat sulit untuk diikuti, dibutuhkan keberanian. Akan tetapi Romo Mangun telah menjalankannya hingga akhir hayatnya. Yang ia utamakan adalah agar manusia menjadi yang manusiawi dan dengan keyakinan bahwa menghormati manusia, mengangkat mereka ke taraf kemanusiaan yang layak merupakan suatu tindakan pemujaan kepada Allah Pencipta Manusia.[27]


DAFTAR PUSTAKA
Hadiwiyata, A.S. “Saksi-saksi Hidup”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 28.
Indratno, A Ferry T. Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, Jakarta: Buku Kompas, 2009.
Magnis-Suseno, Franz. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Mangunwijaya, Y.B. Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Mangunwijaya, Y.B. Pasca-Indonesia, Pasca-Eistein: Esai-esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad 21. Yogyakarta: Kanisius, 2003.
Mangunwijaya, Y.B. Saya Ingin Membayar Utang kepada Rakyat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Monteiro, Edmond.  “Berpolitik demi Rakyat Kecil”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 29.
Priyanahadi, Y.B. dkk (ed). Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Priyanahadi, Y.B.dkk, Y.B.Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan. Yogyakarta: Kanisius, 1999.
Purwatma, M (ed). Romo Mangun, Imam bagi Kaum Kecil, Yogyakarta: Kanisius, 2001
Sularto, St. Impian dari Yogyakarta, Jakarta: Buku Kompas, 2003.
Siagian, F. Sihol. “Bukan Sekedar Polotik Rohaniwan Biasa”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 36.
Snijders, Adelbert. Antropologi Filsafat,  Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius, 2004.
Snijders, Adelbert.  Manusia dan Kebenaran. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
 Sobary, Mohammad. “Romo Mangun, Bak Bisma yang Terluka”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 33.
Tjahjadi, Simon Petrus L. Petualangan Intelektual. Konfrontasi dengan Para Filsuf dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern. Yogyakarta: Kanisius, 2004.


[1] Y. Sari Jatmiko, Menjadi Manusiawai: The Daily Wisdom of Mangunwijaya, (Yogyakarta: Dinamika Edukasi Dasar, 2004), hlm. 234-235.
[2] St. Sularto (ed.) Impian dari Yogyakarta, (Jakarta: Buku Kompas, 2003), hlm xiii.
[3] Y.B.Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia. (Yogyakarta: Kanisius, 2003) hlm. 209.
[4] Y.B.Priyanahadi, dkk, Y.B.Mangunwijaya Pejuang Kemanusiaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.162.
[5] A.S. Hadiwiyata, “Saksi-saksi Hidup”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 28.
[6] Mohammad Sobary, “Romo Mangun, Bak Bisma yang Terluka”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 33.
[7] Y.B. Priyanahadi, dkk (ed.), Y.B. Mangunwijya Pejuang  Kemanusiaan, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), hlm.166.
[8] http://sosok.kompasiana.com/2011/03/24/kehidupan-kali-code-dan-romo-mangun/
[9] St. Sularto (ed.) Impian dari …………………………………………………, hlm xiv.
[10]M. Purwatma (ed), Romo Mangun, Imam Bagi Kaum Kecil, ( Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm.21.
[11] Edmond Monteiro, “Berpolitik demi Rakyat Kecil”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 29.
[12] F. Sihol Siagian, “Bukan Sekedar Polotik Rohaniwan Biasa”, dalam  Hidup (7 Maret 1999), hlm. 36.
[13] Y.B.Mangunwijaya, Saya ingin membayar utang kepada Rakyat, (Yogyakarta:Kanisius, 1999), hlm 68
[14] Y.B.Mangunwijaya, Saya ingin membayar ………………………..., (Yogyakarta:Kanisius, 1999), hlm 69.
[15] Bdk. St. Sularto (ed.) Impian dari ……………………………, ……………………..hlm xxiv.
[16] Y. Sari Jatmiko, Menjadi Manusiawi: The Daily ………………………………….., hlm. 133.
[17] Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia Paradoks dan Seruan, (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 143.
[18] Adelbert Snijders, Manusia dan Kebenaran, (Yogyakarta: Kanisius, 2010),  hlm. 4.
[19]Y.B. Mangunwijaya, Pasca-Indonesia, Pasca-Eistein: Esai-esai tentang Kebudayaan Indonesia Abad 21, (Yogyakarta:Kanisius, 2003), hlm. 119-123.
[20] Y.B.Mangunwijaya, Memuliakan Allah, ……………………………….hlm. 16.
[21] Y.B.Mangunwijaya, Memuliakan Allah, ……………………………….hlm. 7.


[22] Y.B.Mangunwijaya, Memuliakan Allah, ……………………………….hlm. 8
[23] Franz magnis-Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm.49.
[24] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, Konfrontasi dengan Para Filsuf dari zaman Yunani hungga Zaman Modern, ( Yogyakarta: Kanisius, 2004) hlm. 293.
[25] Y. Sari Jatmiko, Menjadi Manusiawai: The Daily …………………………………….., hlm. vi.
[26] Simon Petrus L. Tjahjadi, Petualangan Intelektual, ………………………………….., hlm. 292.
[27] Bdk, Y. Sari Jatmiko, Menjadi Manusiawai: The Daily …………………………….…, hlm. 153.