MANUSIA IRONIS LIBERAL PANDANGAN RICHARD RORTY


         Sejarah umat manusia berubah drastis menjadi masa paling kejam, paling tidak manusiawi, dan paling berdarah pada abad-20.[1] Ideologi-ideologi: nasional-sosialisme, fasisme, komunisme, pelbagai ideologi sosialis serta ideologi-ideologi keagamaan yang semakin berkembang pesat merupakan penyebab dan penyulut peristiwa dramatis tersebut. Ideologi kerap saling menyerang satu sama lain, karena perbedaan bahkan pertentangan paham. Seorang penganut ideologi yang fanatik rela mengorbankan nyawa demi memusnahkan paham ideologi yang berbeda dari kelompoknya. Sungguh sedih dan memprihatinkan, bahwa ideologi yang hakekatnya membahagiakan, menyucikan dan memurnikan manusia serta menjadikan manusia semakin manusiawi berbalik arah menjadi penindas dan pembunuh berdarah dingin.
        Auschwitz[2] sebagai salah satu dampak negatif ideologi  yang merasuki Hittler dan Nazinya adalah simbol kejahatan dan neraka yang telah membunuh jutaan Orang Yahudi dan korban yang lain dengan kepala dingin. Ideologi telah menciptakan manusia fanatik dan manusia robot yang tidak memiliki hati nurani. Oleh sebab itu, manusia kembali bertanya, Bagaimana membangun hidup dalam masyarakat yang plural? Apakah ideologi memang dibutuhkan dalam kehidupan manusia? Pertanyaan ini dijawab oleh Richard Rorty dengan paham manusia ironis liberal.

 

I.    Biografi Singkat
         Richard Rorty lahir pada tanggal 4 Oktober 1931 di New York, dari pasangan Yakobus dan Winifred Rorty. Ia adalah seorang jenius yang ateis. Pada usia yang masih relatif muda (15 tahun), di bawah bimbingan Leo Strauss, ia memperoleh Bachelor of Arts dari universitas Chicago. Dengan studi lebih lanjut ia meraih Master of Arts dari universitas Yale dan dipromosikan menjadi doktor di tempat tersebut. Ia memulai karirnya sebagai dosen dan guru besar di Wellesley College dan beberapa universitas lain di Amerika Serikat. Pada tahun 1961 ia pendah ke Universitas Princeton. Ia mulai dikenal setelah menerbitkan kumpulan karangan “The Linguistic Turn”. Kemudian karya-karyanya Philosophy and the Mirror of Nature, Consequences of Pragmatism, dan Contingency, Irony and Solidarity[3] yang pada dasarnya berisi refleksi atas posisi-posisi kaku dalam filsafat diperkenalkan bagi dunia.

II. Pandangan Tentang Manusia Ironis Liberal
         Richard Rorty mengembalikan segala hiruk pikuk pertimbangan etis dalam ideologi dengan satu keyakinan, bahwa kekejaman adalah perbuatan yang paling buruk. Kalau mau bersikap moral tidak perlu mencari dasar filosofis atau ideologis, sebab kriteria moral hanya satu, yakni tekad untuk tidak bersikap kejam. Rorty merangsang orang untuk merefleksikan kembali pandangan yang kaku dalam filsafat. Ia menolak adanya prinsip-prinsip universal dan menentang usaha filsafat pencerahan untuk mencari dasar rasional bagi pengetahuan dan kepercayaan manusia. Moralitas tidak mungkin didasarkan pada suatu landasan metafisik atau pada prinsip-prinsip umum. Apabila orang mendasarkan moralitas masyarakat pada pandangan religius atau ideologis tertentu justru akan counter-productive karena tidak semua meyakininya.[4] Oleh sebab itu, tugas filsafat bukan mencari dasar segala apa yang ada, melainkan menjadi sarana pengembangan diri para filsuf.

         Selain menolak pemikiran kaku dalam filsafat, Rorty yakin bahwa segala pengetahuan dan pemikiran manusia berbentuk bahasa. Keyakinan manusia tergantung dari “kosa kata”[5] yang ia gunakan. Setiap orang punya kosa kata akhir masing-masing. Oleh sebab itu, tidak ada kosa kata akhir yang lebih benar daripada kosa kata yang lain. Tidak ada keyakinan yang lebih benar daripada keyakinan lain. Yang ada bukan orang dengan pandangan benar dan orang dengan pandangan tidak benar, melainkan hanyalah orang dengan kosa kata akhir yang berbeda.[6]

1.      Manusia Ironis
         Rorty berpendapat bahwa manusia ironis, yakni orang yang menyadari bahwa nilai, paham, kepercayaan dan keyakinan yang paling mendalam yang dianut seorang pribadi manusia maupun yang dipegang teguh dunia hanyalah bersifat kebetulan saja. Seorang manusia ironis berani menerima kenyataan bahwa kepercayaan dan keinginannya yang paling sentral pun tidak mempunyai kepastian. Ia tahu bahwa ada banyak orang lain dengan pemahaman lain atau kosa kata lain. Manusia ironis bersikap ironis terhadap pandangannya sendiri dan sadar bahwa kosa kata akhir yang dipakainya dapat saja berubah. Namun, kosa kata akhir yang dianut seseorang tidak berubah seenaknya. Kosa kata akhir menjadi wahana keyakinan paling mendalam, bahkan identitasnya sendiri. Kosa kata akhir seseorang tidak berubah karena terbukti kurang benar dari kosa kata lain, karena persoalan kosa kata itu bukan tentang benar atau salah, melainkan tepat atau kurang tepat untuk mengatasi masalah atau tantangan dalam peziarahan kehidupan manusia. Kosa kata akhir dapat bergeser, bahkan berubah karena orang bersentuhan dengan orang-orang yang memiliki kosa kata akhir lain.[7]
         Seorang manusia ironis itu bukanlah berarti orang yang tidak dapat sungguh-sungguh meyakini atau percaya pada sesuatu, skeptis total, dan bukan pula orang yang tanpa keyakinan. Rorty menegaskan bahwa manusia ironis adalah orang yang dapat meyakini sesuatu namun tidak harus fanatik dan eksklusif. Artinya, seorang manusia ironis bersedia mengakui bahwa orang lain bisa saja mempunyai pandangan dan keyakinan yang berlainan dengan dirinya. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar, bukan menjadi ajang untuk mencari pandangan mana yang salah atau benar, sebab tidak mungkin kita bertanya, mana dari pandangan dan keyakinan-keyakinan itu yang paling benar. Rorty menggunakan kata "she" untuk manusia ironis: The ironist is a 'she'! Contohnya ia menulis, "…she does not think that her vocabulary is closer to reality than others…". Ternyata ia berpendapat bahwa kaum perempuan lebih memiliki kelenturan dan keterbukaan mental yang perlu untuk bersifat ironis. 

2.      Manusia Metafisik
Kebalikan dari manusia ironis adalah manusia metafisik (the metaphysician). Manusia metafisik adalah orang "yang percaya bahwa pertanyaan 'apa kodrat hakiki (misalnya keadilan, ilmu pengetahuan, eksistensi, iman, moralitas, filsafat)' mempunyai arti objektif".[8] Manusia metafisik senantiasa mencari apa yang paling benar, sebab akal sehat menyediakan sarana bagi manusia untuk berhubungan dengan realitas, yakni kebenaran. Pandangan dunia, keyakinan-keyakinan moral dan religius menurut mereka bukan hanya sekadar masalah kosa kata, melainkan masalah kebenaran objektif. Hanya satu bisa benar, yang lain-lain mesti salah. Kemudian, manusia metafisik yang telah mengetahui kebenaran objektif, yakni kebenaran paling dasariah dan universal dapat menentukan apa yang akan menjadi kosa kata akhir bagi dirinya sendiri.[9]

3.      Manusia Ironis Liberal
         Rorty menganggap dirinya sebagai seorang yang liberal, yakni orang yang berpandangan bahwa, kebebasanlah sebagai nilai tertinggi dalam kehidupan manusia yang plural. Masyarakat liberal tidak akan memaksakan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinannya yang tertentu pada masyarakat yang lain. Dalam masyarakat liberal orang bebas menyatakan pendapatnya tanpa harus takut, sebab yang menentukan di sini adalah kemampuan manusia untuk berbicara dengan orang lain tentang hal-hal yang dianggap benar, bukan yang memang benar. Dengan demikian, Rorty bermaksud membuat hidup lebih ringan dan bebas, khususnya bagi para penyair dan kaum revolusi. Sikap Rorty dalam mendefinisikan manusia liberal terkesan mengikuti Judith Shklar sebagai "orang yang berpendapat bahwa tindakan paling buruk yang dapat kita lakukan adalah perbuatan kejam".[10] Jadi, orang liberal menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan dengan satu pembatasan, yakni menolak bertindak dengan kejam. Sesama manusia hidup bukan untuk saling menyakiti atau saling merendahkan. Inilah keyakinan Rorty.
         Apakah manusia ironis dapat bersikap liberal, bukankah manusia ironis sadar bahwa kosa kata akhir mana pun dapat berubah kembali. Padahal tidak mungkin ada orang yang suka kalau kosa kata akhirnya diubah kembali. Rorty yakin bahwa seorang manusia ironis bisa bersikap liberal, maka ia menangkis serangan ini dengan membedakan antara perhatian privat dan perhatian publik. Ironisme berlaku dalam perhatian privat, artinya berlaku terhadap pandangan dan keyakinan-keyakinannya sendiri. Namun, seorang manusia ironis, karena ia sadar akan kerelatifan kosa kata akhir miliknya sendiri, ia bersedia menghormati kosa kata akhir orang lain. Ia bersedia mengambil sikap yang liberal, bebas, bahkan ia mampu membuka diri terhadap sentuhan kosa kata akhir manusia yang lain, sehingga ada kemungkinan bahwa ia akan mengubah kosa kata akhirnya sendiri.[11]

Penutup
         Pandangan Richard Rorty akan manusia ironis liberal menunjuk pada salah satu tujuan usaha manusia, yakni bersikap solider. Kata ini ternyata memiliki pengertian yang lebih mendalam daripada sekadar mengerti perasaan orang lain. Dengan sikap solider kita dituntut untuk turut merasakan perasaan orang lain. Bukan menjadi seorang penonton yang budiman, melainkan turut terjun dan ambil bagian dalam pengalaman yang dialami oleh sesama manusia, khususnya orang-orang kecil yang menderita. 

Bibliografi
Magnis-Suseno, Frans, 12 Tokoh Etika Abad Ke-20. Yogyakarta: Kanisius, 2000. 
Magnis-Suseno, Franz, Etika Abad Kedua Puluh dengan Teks Kunci. Yogyakarta: Kanisius, 2006. 


            [1]  Frans Magnis-Suseno. 12 Tokoh Etika Abad Ke-20 (Yogyakarta: Kanisius, 2000), hlm. 239.
            [2] Kamp pemusnahan paling terkenal di Polandia yang khusus dibangun oleh Nazi untuk membunuh Orang-orang Yahudi dan Orang lain yang karena ras atau alasan lain dianggap tidak pantas hidup
          [3] Buku yang diterbitkan sekaligus dalam bahasa iggris dan bahasa Jerman. Buku inilah yang mendasari pemikiran Richard Rorty tentang manusia ironis liberal.
            [4]  Frans Magnis-Suseno. 12 Tokoh Etika, . . . hlm. 241.
            [5] Nilai, keyakinan, pemahaman maupun kepercayaan yang dianut seorang atau sekelompok manusia berdasarkan lingkungan budaya yang menjadi pembentuk pribadi manusia di mana manusia itu hidup.
            [6] Franz Magnis-Suseno. Etika Abad Kedua Puluh dengan Teks Kunci (Yogyakarta: Kanisius, 2006), hlm. 258.
            [7]  Franz Magnis-Suseno. Etika Abad Kedua Puluh dengan Teks Kunci … hlm. 262.
            [8]  Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, . . . hlm. 246.
            [9]  Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, . . . hlm. 247.
            [10] Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, . . . hlm. 248.
            [11] Frans Magnis-Suseno, 12 Tokoh Etika, . . . hlm. 249.