Adversity Quotient dan Paul G. Stoltz

Hidup ini seperti mendaki gunung. Kepuasan dan kesuksesan dicapai melalui usaha yang tidak kenal lelah untuk terus mendaki, meskipun kadang-kadang langkah demi langkah yang ditapakkan terasa lambat dan menyakitkan. Kesuksesan dapat dirumuskan sebagai tingkat di mana seseorang bergerak ke depan dan ke atas, terus melaju dalam menjalani hidupnya, kendati terdapat berbagai rintangan atau bentuk-bentuk kesengsaraan lain.
Situasi yang sulit tidak menciptakan halangan-halangan yang tidak dapat diatasi. Setiap kesulitan merupakan tantangan, setiap tantangan merupakan suatu peluang, dan setiap peluang harus disambut. Perubahan merupakan bagian dari suatu perjalanan yang harus diterima dengan baik.
Buku ini secara khusus akan menjelaskan mengapa kita berhenti berusaha. Lebih penting lagi, pada bagian ini Paul G. Stoltz akan menjelaskan bagaimana caranya mendapatkan kekuatan yang diperlukan untuk memperbaiki kemampuan dalam mengatasi kesulitan-kesulitan untuk mencapai kesuksesan.

Pengertian AQ
Menurut Stoltz, AQ merupakan kecerdasan seseorang dalam menghadapi rintangan atau kesulitan secara teratur. AQ membantu individu memperkuat kemampuan dan ketekunan dalam menghadapi tantangan hidup sehari-hari seraya tetap berpegang teguh pada prinsip dan impian tanpa mempedulikan apa yang sedang terjadi.
Stoltz berpendapat bahwa kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama ditentukan oleh tingkat AQ. AQ tersebut terwujud dalam tiga bentuk, yaitu:
a.    Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan
b.   Suatu ukuran untuk mengetahui respon seseorang terhadap kesulitan dan
c.    Serangkaian alat untuk memperbaiki respon seseorang terhadap kesulitan.
Agar kesuksesan menjadi nyata, maka Stoltz berpendapat bahwa gabungan dari ketiga unsur tersebut yakni pengetahuan baru, tolak ukur dan peralatan praktis merupakan sebuah kesatuan yang lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses. Berdasarkan penjelasan itu, dapat disimpulkan bahwa AQ merupakan suatu kemampuan individu untuk dapat bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berpikir dan sikap terhadap kesulitan tersebut.
Stoltz beranggapan bahwa IQ dan EQ tidaklah cukup dalam meramalkan kesuksesan seseorang. Stoltz membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki gunung yaitu:
a. Quitter (yang menyerah)
Ciri, deskripsi dan karakteristik quitter adalah: menolak untuk mendaki lebih tinggi lagi, gaya hidupnya tidak menyenangkan atau datar dan tidak “lengkap”, cenderung menghindari tantangan berat yang muncul dari komitmen yang sesungguhnya, jarang sekali memiliki persahabatan yang sejati. Dalam menghadapi perubahan mereka cenderung melawan atau lari dan cenderung menolak dan menyabot perubahan, terampil dalam menggunakan kata-kata yang sifatnya membatasi seperti “tidak mau”, “mustahil”, “ini konyol” dan sebagainya, kemampuannya kecil atau bahkan tidak ada sama sekali; mereka tidak memiliki visi dan keyakinan akan masa depan, kontribusinya sangat kecil. Para quitter adalah mereka yang sekadar bertahan hidup. Mereka mudah putus asa dan menyerah di tengah jalan.
b. Camper (berkemah di tengah perjalanan)
Ciri, deskripsi dan karakteristik camper: mereka mau untuk mendaki meskipun akan “berhenti” di pos tertentu dan merasa cukup sampai di situ, mereka cukup puas telah mencapai suatu tahapan tertentu (satisficer), masih memiliki sejumlah inisiatif, sedikit semangat dan beberapa usaha, mengorbankan kemampuan individunya untuk mendapatkan kepuasan dan mampu membina hubungan dengan para camper lainnya, menahan diri terhadap perubahan meskipun kadang tidak menyukai perubahan besar karena mereka merasa nyaman dengan kondisi yang ada, mereka menggunakan bahasa dan kata-kata yang kompromistis, misalnya “ini cukup bagus” atau “kita cukuplah sampai di sini saja”, prestasi mereka tinggi dan kontribusinya tidak besar juga, meskipun telah melalui berbagai rintangan namun mereka akan berhenti juga pada suatu tempat dan mereka “berkemah” di situ.
c. Climber (pendaki yang mencapai puncak)
Mereka membaktikan dirinya untuk terus “mendaki”, mereka adalah pemikir yang selalu membimbing kita memikirkan kemungkinan-kemungkinan, hidupnya “lengkap” karena telah melewati dan mengalami semua tahapan sebelumnya. Mereka menyadari bahwa akan banyak imbalan yang diperoleh dalam jangka panjang melalui langkah-kangkah kecil” yang sedang dilewatinya, menyambut baik tantangan, memotivasi diri, memiliki semangat tinggi dan berjuang mendapatkan yang terbaik dalam hidup; mereka cenderung membuat segala sesuatu terwujud, tidak takut menjelajahi potensi-potensi tanpa batas yang ada di antara dua manusia; memahami dan menyambut baik resiko menyakitkan yang ditimbulkan karena bersedia menerima kritik, menyambut baik setiap perubahan, bahkan ikut mendorong setiap perubahan bahkan ikut mendorong setiap perubahan tersebut ke arah yang positif, bahasa yang digunakan adalah bahasa dan kata-kata yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan; mereka berbicara tentang tindakan dan tidak sabar dengan kata-kata yang tidak didukung dengan perbuatan, memberikan kontribusi yang cukup besar karena bisa mewujudkan potensi yang ada pada dirinya, mereka tidak asing dengan situasi yang sulit karena kesulitan merupakan bagian dari hidup.

Faktor Pembentuk Adversity Quotient
Faktor-faktor pembentuk AQ menurut Stoltz adalah sebagai berikut:
a.    Daya saing
Seligman berpendapat bahwa AQ yang rendah dikarenakan tidak adanya saing ketika menghadapi kesulitan, sehingga kemampuan untuk menciptakan peluang dalam kesulitan yang dihadapi.
b.   Produktivitas
Penelitian yang dilakukan di sejumlah perusahaan menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif antara kinerja karyawan dengan respon yang diberikan terhadap kesulitan. Artinya respon konstruktif yang diberikan seseorang terhadap kesulitan akan membantu meningkatkan kinerja lebih baik dan sebaliknya respon yang destruktif mempunyai kinerja yang rendah.
c.    Motivasi
Penelitian yang dilakukan oleh Stoltz menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.
d.   Mengambil resiko
Penelitian yang dilakukan oleh Satterfield dan Seligman menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai AQ tinggi lebih berani mengambil resiko dari tindakan yang dilakukan. Hal itu dikarenakan seseorang dengan AQ tinggi merespon kesulitan secara lebih konstruktif.
e.    Perbaikan
Seseorang dengan AQ yang tinggi senantiasa berupaya mengatasi kesulitan dengan langkah konkrit yaitu dengan melakukan perbaikan dalam berbagai aspek agar kesulitan tersebut tidak menjangkau bidang-bidang lain.
f.     Ketekunan
Seligman menemukan bahwa seseorang yang merespon kesulitan dengan baik akan senatiasa bertahan.
g.    Belajar
Carol Dweck membuktikan bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola pesimistis.

Dimensi-dimensi AQ
Stoltz menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan kemampuan AQ yang tinggi, yaitu:
a.      Kendali/Control ( C )
Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasa bahwa kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin besar kendali yang dimiliki, semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat bertahan menghadapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.
b.      Daya tahan/Endurance ( E )
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai AQ yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang bersifat abadi dan sulit untuk diperbaiki.
c.      Jangkauan/Reach ( R)
Jangkauan merupakan bagian dari AQ yang mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Reach atau jangkauan menunjukkan kemampuan dalam melakukan penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semaikn tinggi jangkauan seseorang, semakin besar kemungkinan dalam merespon kesulitan sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membatasi jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan yang ada, sehingga ketika memiliki masalah di satu bidang, dia tidak harus merasa mengalami kesulitan untuk seluruh aspek kehidupan individu tersebut.
d.      Kepemilikan/Origin and ownership ( O2 )
Kepemilikan atau dalam istilah lain disbut dengan asal-usul dan pengakuan akan mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana seorang individu menganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-usulnya) rendah akan cenderung berpikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan pikiran merusak semangatnya.

Ilmu Pengetahuan tentang AQ
AQ dibangun dengan memanfaatkan tiga cabang ilmu pengetahuan yang dirumuskan dalam tiga batu pembangunan AQ, yaitu:
a.      Batu 1: Psikologi kognitif
Psikologi kognitif merupakan ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang memperoleh, mentransformasikan, mempresentasikan, menyimpan dan menggali kembali pengetahuan dan bagaimana pengetahuan tersebut dapat dipakai untuk merespon atau memecahkan kesulitan itu abadi, maka jangkauan kendali mereka akan menderita, sedangkan yang menganggap kesulitan itu mudah berlalu, maka ia akan tumbuh maju dengan pesat. Respon seseorang terhadap kesulitan mempengaruhi kinerja dan kesuksesan. Strategi berespon terhadap kemalangan dengan pola-pola tersebut akan menetap sepanjang hidup seseorang.
b.      Batu 2: Neuropsikologi
Neuropsikologi adalah bagian psikologi terapan yang berhubungan dengan bagaimana perilaku dipengaruhi oleh disfungsi otak. Ilmu ini menyumbangkan pengetahuan bahwa otak secara ideal dilengkapi sarana pembentuk kebiasaan-kebiasaan, sehingga otak segera dapat diinterupsi dan diubah. Dengan demikian kebiasaan baru tumbuh dan berkembang dengan baik.
Neuropsikologi merupakan speciality (bidang keahlian khusus), tetapi juga dapat dilihat sebagai bagian psikologi kesehatan. Neuropsikologi maupun psiklogi kesehatan berada di bawah payung besar psikologi klinis. Neuropsikologi memiliki representasi yang tersebar luas dalam tim-tim multidisiplin atau antardisiplin sebagai bagian dari pendekatan medis kontemporer terhadap penanganan seorang pasien.
c.      Batu 3: Ilmu Kesehatan yang baru (Psikoneuroimunologi)
Ilmu ini menyumbangkan bukti-bukti adanya hubungan fungsional antara otak dan sistem kekebalan, hubungan antara apa yang individu pikiran dan rasakan terhadap kemalangan dengan kesehatan mental fisiknya. Kenyataannya pikiran dan perasaan individu juga dimediasi oleh neurotransmitter dan neuromodulator, yang berfungsi mengatur ketahanan tubuh. Hal ini esensial untuk kesehatan dan panjang umur, sehingga seseorang dapat menghadapi kesulitan dan mempengaruhi fungsi-fungsi kekebalan, kesembuhan, dan kerentanan terhadap penyakit-penyakit yaitu melemahnya kontrol diri yang esensial akan menimbulkan depresi.