AGAMA: Rekayasa Manusia untuk Lari
dari Realitas
(Suatu Tinjauan Filosofis dan
Persfektif Sigmund Freud)
Wb : Blasius Ola Doren
1.
Kata Pengantar
Salah satu ciri khas kehidupan
intelektual dalam abad ke-19 ialah optimisme besar terhadap ilmu pengetahuan.
Optimisme yang besar dan yang diagungkan para filsuf zaman ini melahirkan suatu
sifat, pemahaman dan pandangan yang negatif terhadap kepercayaan religius.
Nampaknya hampir semua penemuan baru dalam bidang ilmu pengetahuan terjadi pada
abad ini. Penemuan-penemuan yang menyangkut manusia, satu demi satu dikaitkan
dengan ateisme.[1]
Salah satu tokoh yang menganut
ateisme adalah Sigmund Freud sekaligus ilmuwan yang menggumuli psikoanalisis
pada masa itu. Ia memberi jawaban dengan jelas bahwa Tuhan tidak ada. Tuhan ada
atau tidak ada, sebenarnya tidak pernah dinyatakan dan dijelaskannya. Bagi
Freud, yang ada adalah alam dengan manusia dan segala masalahnya. Pertanyaan
yang diangkat dan dikemukakan oleh Freud adalah mengapa gagasan “Tuhan”
sedemikian menguasai kesadaran dan kehidupan manusia? Padahal baginya, Tuhan
tidak dapat dilihat, didengar ataupun dirasakan.[2]
Di bawah ini akan dijelaskan lebih
rinci bagaimana Sigmund Freud menjelaskan alasan mengapa gagasan tentang Tuhan
itu ada dan menyebar dalam diri manusia yang mempercayai agama serta bagaimana
manusia yang percaya menanggapi gagasan Tuhan itu dalam kehidupan realitas
mereka.
2.
Riwayat Hidup Sigmund Freud
2.1
Biografi Singkat dan Masa Studinya
Sigmund Freud
adalah seorang Austria keturunan Yahudi. Ia lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di
Freiberg, Moravia, yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Republik Ceko[3].
Ketika ia berumur 4 tahun, keluarganya pindah ke Wina tempat Freud hidup dan bekerja
sampai tahun 1938. Pada saat itu ia terpaksa melarikan diri ke Inggris setelah
terjadi Anscheluss. Meskipun ia
selalu mengeluh tentang gerahnya hidup di Wina, Freud tidak hanya tinggal di sana
hampir seluruh masa hidupnya. Ia pun bersama seluruh keluarganya hidup di
alamat yang sama hampir selama lima puluh tahun.[4]
Freud
adalah seorang murid yang cemerlang. Setiap tahun ia selalu nomor satu di
antara teman-temannya di Gymnasium,
dan lulus dengan pujian pada tahun 1873. Pada tahun 1881 ia mendapatkan gelar
dokternya dari universitas Wina, dan pada tahun 1885 memenangkan beasiswa untuk
melanjutkan studi di Paris. Di sana ia belajar di bawah pengawasan Jean Martin
Charcot di salpetrière. Bagi Freud, dengan diagnosisnya tentang histeria dan
penggunaan hypnosis ini, ia semakin didorong oleh Charcot (orang yang tidak
hanya membuka jalan untuk belajar tentang sakit jiwa secara serius, melainkan
juga merupakan seorang guru karismatik). Kekaguman Freud terhadap gurunya ini
tidak pernah sirna ataupun lenyap dari pandangannya. Setelah ia kembali ke
wina, ia membuka praktek sebagai dokter.[5]
Freud
tertarik dan belajar hipnotis di Perancis, lalu menggunakannya untuk membantu
penderita penyakit mental. Freud kemudian meninggalkan hipnotis setelah ia
berhasil menggunakan metode baru untuk menyembuhkan penderita tekanan
psikologis yaitu asosiasi bebas[6]
dan analisis mimpi. Dasar terciptanya metode tersebut adalah dari konsep alam
bawah sadar. Analisis mimpi digunakan oleh Freud dari pemahamannya bahwa mimpi
merupakan pesan alam bawah sadar yang abstrak terhadap alam bawah sadar.
Pesan-pesan ini berisi keinginan, ketakutan dan berbagai macam aktivitas emosi
lain, hingga aktivitas emosi yang sama tidak disadari. Oleh karena itu metode
analisis mimpi dapat digunakan untuk mengungkap pesan bawah sadar atau
permasalahan terpendam, baik berupa hasrat, ketakutan, kekhawatiran, kemarahan
yang tidak disadari karena ditekan oleh seseorang. Ketika
permasalahan-permasalahan mengenai alam bawah sadar ini telah berhasil
diungkap, maka akan lebih mudah untuk diselesaikan dalam
penyelesaian-penyelesaian selanjutnya.
Selama
belajar di universitas, calon ahli psikoanalisis ini bekerja di laboratorium
seorang ahli fisiologi dan penganut aliran positivis, Ernst Brücke. Hermann Helmholtz (teman sejawat Brücke),
juga memberikan pengaruh yang cukup besar pada Freud, demikian juga fisikawan
dan filsuf Gustav Fechner. Ketiga orang ini merupakan wakil dari dunia medis
yang beraliran positivisme dan vitalisme. Pengaruh mereka secara khusus bisa
terlihat pada teori Freud tentang energi psikis yang “terbatas” dan “tidak
terbatas”. Freud akhirnya meninggal di London pada tahun 1939.[8]
2.2
Karya-karyanya
Karya tulis Freud sangat menantang
dalam pembahasan tentang entitas yang (relatif) berlainan. Karya tersebut juga
bahkan terutama, menantang sebagai jejak sebuah pengembaraan intelektual agung
yang di dalamnya psikoanalisa mengalami suatu transformasi halus dalam
sekumpulan wacana yang terus berevolusi. Sebagian transformasi ini datang dari
kenyataan bahwa Freud sendiri tidak seluruhnya mengendalikan konsep (seperti
kehidupan, kematian, kenikmatan, dan sebagainya) yang ingin ia utarakan dan
juga karena konsep ini belum mantap. Singkatnya, Freud menekankan pentingnya
upaya melakukan interpretasi secara terus-menerus. Freud mengatakan bahwa pada
akhirnya suatu ilmu psikoanalisis itu tidak pernah akan berakhir.[9]
Pada tulisannya The Interpretation of Dreams, Freud secara tegas menyatakan bahwa
usahanya memberikan pemahaman tentang mimpi yang lebih mendalam, berbeda sekali
dengan usaha-usaha yang pernah dilakukan sebelumnya karena ia tidak
mengandalkan tanda-tanda mimpi yang lazim. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar
meninjau hal-hal dalam mimpi dengan menggunakan hal-hal dalam mimpi itu
sendiri. Secara garis besar Freud menunjukkan bahwa penafsiran mimpi harus
berbentuk khusus karena mimpi adalah suatu pemenuhan harapan yakni harapan yang
tidak dipahami dalam tataran pemunculan isinya.[10]
3. Pandangan Sigmund Freud atas Agama
3. Pandangan Sigmund Freud atas Agama
3.1Neurosis dan Praktek-praktek
Agama
Ajaran
tentang Neurosis merupakan inti teori psikoanalisa Sigmud Freud. Neurosis
adalah situasi kelakuan-kelakuan dan perasaan-perasaan yang aneh dalam diri
manusia. Dengan kata lain, kelakuan-kelakuan dan perasaan-perasaan itu tidak
sesuai dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Salah satu contoh yang sesuai
dengan situasi ini adalah seseorang yang tidak dapat berkomunikasi secara
normal. Situasi seperti ini membuat manusia menjadi asing dan tidak sesuai
dengan realitas manusia sebab manusia dilihat sebagai makhluk yang
berkomunikasi. Neurosis ini dapat juga diartikan sebagai gangguan jiwa yang
dialami oleh seseorang. Ganggguan jiwa ini semacam memaksa si penderita untuk
membayangkan, memikirkan hal-hal yang baginya sendiri ia anggap sebagai situasi
yang aneh sebab ia tidak dapat melakukannya.[11]
Situasi neurosis ini menurut Sigmund
Freud dapat disamakan dengan praktek-praktek keagamaan pada zaman itu. Pada kedua-duanya
haruslah memiliki situasi yang lengkap tanpa cacat. Maksudnya ialah bahwa
praktek-praktek keagamaan itu tidak lepas dari ritual-ritual yang diwarisi
secara turun-temurun. Warisan yang diterima secara turun-temurun ini tidak bisa
menghilangkan sedikit unsur apapun dari ritual tersebut. Jika salah satu unsur dari
ritual tersebut hilang, maka praktek-praktek keagamaan yang akan dijalankan
terasa tidak sungguh-sungguh sebagai sebuah acara ritual. Demikian pula dengan
neurosis. Jika salah satu aspek kurang dalam diri manusia yang pada dasarnya
adalah sempurna maka manusia itu pun tidak mampu untuk melakukan apa-apa,
apalagi memikirkan di luar dirinya.[12]
Dari persamaan kedua hal ini
terdapat pula perbedaan yang khas, di mana kedua hal tersebut memperlihatkan
jalan yang berbeda dalam kehidupannya. Bagi neurosis, jalan yang ditempuh untuk
memperlihatkan penyempurnaan dalam diri adalah dengan menggunakan objek-objek
nyata sebagai sarana penyempurnaan. Sedangkan bagi praktek-praktek keagamaan
(ritual) jalan yang ditempuh adalah dengan tata cara yang sudah sistematis dan
teratur sesuai dengan apa yang telah ditetapkan dan dijalankan oleh nenek
moyang mereka. Sifatnya ini adalah sama. Neurosis mau memperlihatkan bahwa
tindakan-tindakan itu dilakukan secara individu atau personal.
Tindakan-tindakan tersebut menampakan bagaimana karakter dan sifat si pelaku.
Sedangkan praktek-praktek keagamaan diadakan atau dilakukan secara bersama.
Kebersamaan nampaknya merupakan pokok atau inti keagamaan tersebut. Keadaan ini
nampaknya sudah mulai dipraktekkan dan dilakukan oleh nenek moyang mereka sejak
awal pelaksanaan ritual itu.[13]
Menurut Freud, neurosis itu
berkaitan dengan super ego manusia. Ibaratnya super ego itu membonceng keadaan
hati manusia. Pada dasarnya super ego menghayati norma-norma kekeluargaan,
norma-norma masyarakat dan diri sendiri. Maksudnya ialah bahwa norma-norma itu
membantu manusia untuk melihat lebih dalam apa yang dilakukan serta konsekuensi
dari apa yang dilakukan tersebut. Atau dengan kata lain super ego itu semacam penasihat
bagi diri. Misalnya ketika seseorang mencuri uang orang lain. Di sini
sebenarnya super ego bertindak sebelum seseorang mencuri. Tetapi jika keinginan
ego lebih kuat yang dipengaruhi oleh situasi batin maka nasihat dari super ego
terasa hambar. Ketika super ego mulai menyatakan diri lewat tindakan (nasihat)
sebenarnya ia telah menunjukkan eksistensinya sebagai super ego dalam diri
manusia.[14]
Untuk membebaskan seseorang (pasien)
dari neurosisnya, Sigmund Freud dalam psikoanalisanya menyampaikan dua langkah.
Langkah pertama ialah dengan melupakan. Manusia harus mampu mengingat bahwa ia
melupakan situasi yang pernah ia alami. Kejadian terkadang membuat manusia
menjadi malu, baik terhadap diri sendiri, sesama dan lingkungan sekitar.
Langkah kedua ialah mengambil sikap rasional dari peristiwa tersebut. Peristiwa
kejatuhan terkadang memalukan. Apalagi dilihat oleh banyak orang. Namun yang
perlu ialah bahwa manusia dengan rasionya mampu menjawabi situasi dengan
kejatuhan tersebut.[15]
3.2 Agama sebagai Ilusi
Sigmund
Freud berangkat dari pemikirannya tentang agama. Ia mengatakan bahwa, ketika
manusia percaya kepada agama, secara tidak langsung ia juga telah percaya
kepada dewa-dewi. Dewa-dewi itu berfungsi mencegah ancaman-ancaman alam,
membantu manusia untuk menghindari dirinya dan memberikan jaminan kepada
manusia atas penderitaan dan kejadian lain yang mereka alami. [16]
Freud mengemukakan bahwa manusia lari mencari agama sebenarnya hanya ingin
menghindari ancaman-ancaman dunia, alam dan situasi sekitar. Selain itu,
manusia mencari tempat berlindung dan penghiburan atas situasi yang tidak mengenakan
yang mereka alami di dunia. Dengan harapan setelah mendapat perlindungan dari
agama, manusia merasa tenteram dan aman dengan apa yang mereka inginkan. Situasi
dari manusia inilah yang disebut dengan ilusi.[17]
Dewa-dewi sebenarnya bukan
bersungguh-sungguh untuk melindungi manusia melainkan manusia yang berharap
untuk dilindungi. Ilusi itu adalah infantil[18].
Manusia menghendaki agar situasi diri mereka dapat tetap aman dan terhindar
dari serangan-serangan alam sekitar. Maka mereka mencari perlindungan kepada
agama. Agama sebenarnya tidak memberikan jalan keluar bagi penderitaan manusia.
Agama bahkan tidak memberikan apapun yang berguna bagi manusia. Kendatipun
demikian karena agama itu sudah menyebar dalam pikiran manusia, maka daya agama
itu tidak akan pernah hilang begitu saja
dalam pergumulan manusia.[19]
Situasi seperti ini juga dipandang
sebagai masalah sosial. Mengapa tidak? Sebab agama dalam kenyataannya
berkembang di tengah-tengah masyarakat. Agama mempengaruhi pola pikir masyarakat
dan bukan hanya itu, tetapi juga segala aspek yang terkandung dalam masyarakat
termasuk juga cara bekerja manusia. Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang
bertindak. Agama secara tidak langsung memerintakan manusia untuk menjadi salah
satu pekerja dari apa yang dipikirkan agama. Jika dipikir lebih jauh, agama itu
sebenarnya semacam tuan atas manusia. Namun manusia tidak menyadari bahwa ia
telah menjadi suruhan. Ketika manusia menjadi suruhan berarti ia melakukan
sesuatu bagi orang lain bukan bagi dirinya sendiri. Maka secara tidak langsung
manusia itu tetap tinggal pada dirinya yang menderita.[20]
Manusia menurut Sigmund Freud
haruslah mampu menunjukkan dirinya lewat usaha yang ia lakukan. Agama itu
sebenarnya hanyalah sebagai sebuah ilusi yang berasal dari kehendak-kehendak
manusia semata. Sesuatu yang khas bagi ilusi ini sebenarnya ialah bahwa salah
satu keinginan memegang peranan yang
menentukan. Suatu kepercayaan menjadi ilusi disebabkan atau didasarkan pada
keinginan dan kehendak, bukan karena faktor rasional. Freud sebenarnya
melanjutkan kritikan-kritikan terhadap agama yang sudah dialami atau dimulai
para filsuf sebelumnya.[21]
Freud pada akhirnya meyakini bahwa
di masa mendatang manusia tidak akan lagi membutuhkan penghiburan dari agama.
Agama dapat dibandingkan dengan suatu neurosis dalam masa anak-anak yang akan
hilang dalam proses perkembangan ke arah kedewasaan. Demikian pun dalam
perkembangan umat manusia, agama sebagai suatu fase neurosis akan diatasi.
Sebaliknya manusia akan mengarahkan perhatiannya dan tenaganya pada dunia. Apa
yang dulu diharapkan dari agama, kini harus diharapkan rasio itu saja.[22]
4. Refleksi Kritis
Agama
bagi Sigmund Freud adalah pelarian dari ketidakmampuan manusia pada saat itu
untuk menghadapi tantangan zaman dan situasi sosial manusia. Menurut Freud,
saat itu manusia belum bisa menjelaskan secara rasional alam semesta secara
utuh sehingga untuk menjelaskan berbagai fenomena yang ada dalam alam semesta,
manusia saat itu memilih ungkapan “Tuhan, dewa, jin dan lain sebagainya”.
Manusia belum bisa menjelaskan mengapa matahari berputar, mengapa bulan tak
jatuh dari langit dan pertanyaan-pertanyaan rasional lainnya.[23]
Situasi inilah yang membuat manusia mencari jalan pintas dan berharap dengan
jalan itu manusia mampu menemukan jawaban atas ketidaktahuan mereka. Jalan yang
dimaksud itu ialah agama (Tuhan).
Bagi Freud, Tuhan tidak menciptakan
otak, namun justru sebaliknya otaklah yang menciptakan Tuhan. Tuhan ada karena
kita sering memproyeksikannya dalam pikiran.[24]
Di sini jelas bahwa Freud hanya mengandalkan unsur rasionya semata. Freud jatuh
pada rasionalisme yang hanya berpusat pada akal pikiran. Akal pikiranlah
sebagai satu-satunya jalan bagi Freud untuk mengetahui. Padahal untuk mencerna
Allah, manusia tidak hanya mengandalkan rasio atau akal itu sebab akal manusia
terbatas dan sempit.
Pandangan terhadap agama sebagai
infantil (kehendak) menurut Freud adalah kesia-siaan belaka.[25]
Sebenarnya sudut pandang ini tidaklah terlalu tepat sebab orang yang beragama
justru karena diperkuat oleh kepercayaan akan dukungan dan bantuan Tuhan.
Dengan rasiolah manusia dapat mengatakan bahwa dia beragama, berarti agama juga
tidak lepas dari pemikiran. Kalau Freud mengatakan bahwa agama itu adalah
kesia-siaan berarti ia melawan kata-katanya sendiri. Sebab ia tidak pernah
mengatakan bahwa Tuhan itu ada atau tidak. Seandainya Tuhan tidak ada, tidak
ada manfaat memohon bantuan kepada-Nya. Sia-sialah bagi manusia yang berpikir
meminta bantuan kepada sesuatu yang tidak ada. Dan seandainya Tuhan ada, maka
sangat rasionallah meminta bantuan kepada-Nya.
Menurut Freud, ajaran ritual dari
agama sangatlah tidak ada faedahnya.[26]
Pemikiran ini sepertinya timbul atas dasar pengalaman inderawi semata.
Seseorang yang hanya mengandalkan rasio dan penglihatan inderawi terkadang juga
ia lupa bahwa dalam dirinya terdapat hati dan afeksi. Suatu situasi tak hanya
dapat dilihat dengan penglihatan semata, tetapi juga mempertimbangkannya dengan
hati. Kalau dilihat lebih dalam, ritual itu sebenarnya merupakan salah satu
penghormatan dan penghargaan atas apa yang dilakukan oleh para pendahulu. Di
dalam ritual itu terkandung banyak makna dan harapan. Dengan ritual itu
diharapkan adanya ketaatan, cinta terhadap sesama dan pertolongan dari Tuhan.
Maka sangat tidak tepatlah bahwa agama dipandang sebagai pelarian dan kehampaan
nilai hidup.
DAFTAR PUSTAKA
Bertens,
Kees. Panorama
Filsafat Modern. Jakarta: Gramedia, 1987.
Lechte, John. 50 Filsuf Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Maginis, Franz –Suseno.
Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.
Leahy,Louis. Aliran-Aliran Besar Ateisme. Yogyakarta: Kanisius, 1985.
[1] Kees Bertens, Panorama Filsafat Modern, (Gramedia: Jakarta,
1987), hlm. 90.
[2] Franz Maginis-Suseno, Menalar Tuhan, (Kanisius: Yogjakarta, 2006), hlm. 84-85.
[4] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer (Kanisius: Yogyakarta, 2001), hlm. 44-45.
[5] John Lechte, 50 Filsuf …, hlm. 45.
[6] Asosiasi bebas adalah metode yang digunakan untuk mengungkap
masalah-masalah yang ditekan oleh diri seseorang namun terus mendorong keluar
secara tidak disadari hingga menimbulkan permasalahan.
[8] John Lechte, 50 Filsuf …, hlm. 45.
[9] John Lechte, 50 Filsuf …, hlm. 44.
[10] John Lechte, 50 Filsuf …, hlm. 47.
[11] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 85.
[12] Kees Bertens, Panorama …, hlm. 93.
[13] Kees Bertens, Panorama …, hlm. 93.
[14] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 86.
[15] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 87.
[16] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 87.
[17]
Prof. Dr. Louis Leahy, SJ.,
Aliran-Aliran Besar Ateisme,
(Yogyakarta: Kanisius, 1985), hlm. 53.
[18] Infantil adalah suatu cita rasa atau kehendak diri manusia untuk
mencapai sesuatu. Dalam hal ini Sigmund Freud mengaitkannya dengan obsesi
manusia untuk mencari kuasa agama.
[19] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 88.
[20] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 88-89.
[21] Kees Bertens, Panorama …, hlm. 108.
[22] Kees Bertens, Panorama …, hlm. 108-109.
[25] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 91.
[26] Franz Maginis-Suseno, Menalar…, hlm. 92.