Pepatah lama
mengatakan bahwa manusia bukanlah apa yang ia kerjakan, melakukan apa yang ia
biasakan. Disadari atau tidak, setiap manusia hidup dengan kebiasaan-kebiasaannya.
Kebiasaan ini membentuk seperti apa seorang manusia itu. Steven Covey dalam
bukunya The Seven Habits of Highly
Effective People mengajarkan bagaimana menjadi seorang manusia yang
berkarakter efektif lewat tujuh kebiasaan. Pada kesempatan ini, kelompok VI
(enam) akan memaparkan secara singkat empat dari tujuh kebiasaan efektif
tersebut, yaitu berpikir menang/menang, memahami dahulu baru dipahami,
menciptakan sinergi, dan mengasah gergaji.
1.
Berpikir
Menang/Menang
Manusia adalah
makhluk sosial. Manusia harus berinteraksi dengan sesamanya dalam mewujudkan
kehidupan sebagai manusia. Dalam kegiatan interaksi tersebut, manusia
dihadapkan pada cara berinteraksi dengan sesamanya. Menurut Covey, ada enam
jenis paradigma interaksi antar manusia, yakni:
a.
Paradigma
Menang/Menang
Paradigma
Menang/Menang berarti suatu cara pandang dalam berelasi dengan orang lain di
mana keuntungan bersama menjadi tujuan. Hal ini berarti bahwa kesepakatan atau
solusi memberikan keuntungan dan kepuasan yang timbal balik. Dengan paradigma
menang/menang, kedua pihak yang terlibat dalam suatu relasi merasa senang akan
keputusan bersama dan terikat untuk mewujudkan keputusan bersama itu. Dalam
paradigma ini, muncul sikap kooperatif, bukan kompetitif.
b.
Paradigma
Menang/Kalah
Dengan paradigma
menang/kalah, seseorang memandang realasi sebagai suatu kompetisi di mana dia
mesti memenangi kompetisi dengan orang lain. Hal ini tampak dalam pertandingan
olahraga di mana harus setiap peserta lomba berusaha menang dengan membuat
peserta yang lain kalah. Dengan paradigma ini, keuntungan berada di satu pihak
dan kerugian harus ditanggung pihak yang lain.
c.
Paradigma
Kalah/Menang
Dalam paradigma
kalah/menang, seseorang memandang relasi sebagai suatu kompetisi di mana ia
menjadi pihak yang kalah dari kompetisi itu. Ia mengalah dan menyingkir dari
kompetisi itu dan menyatakan pihak lain sebagai pemenang. Ini adalah sikap
permisif dan berakibat menyimpan banyak perasaan kecewa.
d.
Paradigma
Kalah/Kalah
Paradigma ini
alih-alih membuat setiap pihak dalam relasi mengalami keuntungan, justru setiap
pihak harus menanggung kerugian. Fokus permusuhan tampak dalam paradigma ini.
e.
Paradigma
Menang
Paradigma menang
menonjolkan unsur otonomi setiap pihak dalam relasi dalam menentukan tujuannya.
Yang terpenting dalam paradigma menang ialah seseorang mencapai tujuannya dan
tidak peduli apakah orang lain juga mencapai tujuannya atau tidak.
f.
Paradigma
Menang/Menang atau Tidak Sama Sekali
Dalam paradigma
ini, kesepakatan bersama menjadi dasar. Bila kesepakatan bersama dinilai oleh
kedua belah pihak tidak bisa saling menguntungkan (menang/menang), maka tidak
perlu dibuat kesepakatan sama sekali.
Dari enam paradigma di atas, paradigma terbaik
bersifat relatif dalam arti tergantung pada situasi dan kondisi (konteks) yang
menuntut. Dalam konteks pertandingan olahraga, paradigma menang/kalah jelas
mesti diutamakan. Dalam konteks moral atau budaya, paradigma kalah/menang kerap
digunakan demi memperjuangkan suatu nilai yang lebih tinggi dibandingkan
kesepakatan. Namun, dari keseluruhannya terkait relasi antar manusia, paradigma
yang paling tepat ialah paradigma menang/menang, karena kedua belah pihak dalam
relasi dibahagiakan dan diuntungkan. Bila kesepakatan antar kedua belah pihak
tidak bisa tercapai, solusi terbaik ialah tidak mengadakan kesepakatan sama
sekali. Hal ini dinyatakan tepat karena paradigma lain mesti mengorbankan satu
pihak demi kepentingan pihak yang lain.
Prinsip menang/menang merupakan kunci keberhasilan
interaksi antar manusia. Prinsip ini dimulai dengan karakter dan bergerak ke arah hubungan,
dan darinya mengalir kesepakatan.
Kesepakatan ini dipelihara dalam lingkungan di mana struktur dan sistem
didasarkan pada Menang/Menang dan hal ini memerlukan suatu proses. Jadi, ada lima dimensi yang terkait dengan paradigma
menang/menang, yakni :
a.
Karakter
Setiap pribadi
yang ingin menjalankan paradigma menang/menang dalam relasinya, mesti memiliki
karakter esensial berikut :
i.
Integritas
Integritas
berarti nilai yang kita tempatkan dalam diri kita sendiri. Nilai inilah yang
disadari dan diperjuangkan dalam setiap tindakan pribadi.
ii.
Kematangan
Kematangan ialah
keseimbangan antara keberanian dan tenggang rasa. Sikap berani mengekspresikan
dan mewujudkan sesuatu mesti diimbangi dengan pertimbangan akan perasaan dan
keyakinan orang lain.
iii.
Mentalitas
Kelimpahan
Mentalitas
kelimpahan berarti suatu sikap memberi kesempatan kepada orang lain untuk ambil
bagian dalam kemenangan. Sikap ini bertolak belakang dengan sikap “mengalahkan”
atau menang atas orang lain. Inilah sikap kemenangan bersama.
b.
Hubungan
Dalam interaksi
antar manusia, kedua belah pihak menjalin suatu hubungan. Kunci hubungan yang
didasari sikap menang/menang ialah kepercayaan. Dengan sikap saling percaya
yang tumbuh antar kedua pribadi yang bersikap menang/menang, akan terjalin juga
suatu hubungan yang berorientasi menang/menang. Hubungan menang/menang tidak
bisa terjadi bila kedua pihak didasari sikap curiga yang hanya akan
menghasilkan kompromi belaka.
c.
Kesepakatan
Hubungan
menang/menang diwujudkan lewat suatu kesepakatan. Dalam kesepakatan ini kedua
belah pihak menjadi terikat dan saling tergantung satu sama lain.
d.
Sistem
Menang/menang
hanya bisa bertahan dalam suatu organisasi bila sistem organisasi tersebut
mendukungnya. Dalam sistem perlombaan olahraga yang menonjolkan paradigma
kompetitif, bagaimana pun paradigma menang/menang tidak memiliki tempat dalam
sistem ini. Tetapi dalam suatu grup atau kelompok kerja yang kooperatif,
paradigma ini bisa berkembang dalam sistem kerja sama tersebut.
e.
Proses
Tujuan
menang/menang tidak dapat dicapai dengan cara menang/kalah atau kalah/menang.
Proses menang/menang harus sejalan dengan tujuannya. Oleh karena itu, proses
menang/menang adalah media sekaligus tujuan dari paradigma menang/menang itu sendiri.
Proses menang/menang itu ialah : “berusaha mengerti dulu dan kemudian
dimengerti” dan “sinergi”.
2.
Berusaha
Mengerti Terlebih Dahulu… Baru Dimengerti : Prinsip Komunikasi Empatik
Dalam komunikasi
antar manusia, ada dua jenis kegiatan yakni berbicara dan mendengar. Kebanyakan
orang umumnya tidak memiliki kesulitan untuk berbicara, tetapi hubungan yang
baik dan efektif belum tentu terwujud dengan sikap seperti itu karena kurangnya
sikap yang tepat dalam mendengarkan. Menurut Covey, kunci komunikasi yang
efektif ialah “berusaha mengerti terlebih dahulu, baru dimengerti.”
a.
Mendengar
dengan Empatik
Mengerti
terlebih dahulu berarti suatu tindakan empatik, yakni berusaha untuk melihat
dari kacamata orang lain. Mendengar dengan empatik berarti mengikutsertakan
telinga, hati, dan budi kita dalam komunikasi dengan orang lain. Seseorang
mengerti orang lain dengan cara memasuki kerangka pikir dan perasaan rekannya
tersebut. Dengan demikian, seseorang bisa mengerti mengapa rekannya itu bisa
berpikir dan bermaksud demikian. Tujuan mendengar empatik ialah supaya kita
mengerti apa yang dimaksud oleh lawan bicara sepenuhnya, secara intelektual dan
emosional. Dengan mengerti secara jernih, seseorang bisa menanggapi orang lain
dengan tepat. Covey menyebut pola ini dengan “membuat diagnosis sebelum membuat
resep”. Dibutuhkan pengertian yang memadai sebelum menanggapi seseorang dengan
tindakan tertentu.
Ada beragam
tindakan yang menjadi tanggapan kita ketika mendengarkan orang lain, yakni
mengevaluasi (menyetujui atau menolak), menyelidik (mengajukan pertanyaan),
menasihati, dan menafsir (memahami). Tindakan-tindakan ini disebut respons
autobiografis. Menurut Covey, hal yang terpenting dalam komunikasi ialah
menafsir (memahami). Mengevaluasi, menyelidik, dan menasihati tidak efektif
tanpa suatu upaya menafsir yang baik dan utuh. Semua nasihat dengan niat baik
di dunia ini tidak akan memberi banyak hasil bila kita tidak mengerti masalah
yang sebenarnya. Oleh karena itu, berusaha memahami orang lain dengan
sungguh-sungguh menjadi tuntutan utama dalam komunikasi yang efektif. Dengan
ini, komunikasi tidak hanya menjadi sekadar lalu lintas kata-kata melainkan
suatu proses transformasi (perubahan) di mana bila seseorang mulai mengerti
yang lain, maka ia juga bisa memberikan perubahan kepada orang tersebut.
Mengerti orang
lain mesti didasari oleh sikap tulus. Dengan sikap tulus, komunikasi akan
menjadi suatu pembukaan atau “pewahyuan” diri yang murni. Tidak ada keinginan
untuk memanipulasi yang lain dan orang lain tidak ragu untuk bercerita secara
terbuka dan nyaman.
b.
Berusaha
untuk dimengerti
Setelah berusaha
untuk mengerti, kini tiba saatnya untuk dimengerti. Mengerti suatu persoalan
dari sudut pandang orang lain membukakan jalan bagi seseorang untuk
menyampaikan ide dan pikirannya tentang suatu hal. Dalam penyampaian gagasan
itu, kita mesti memiliki kematangan yang berarti keseimbangan antara keberanian
dan tenggangrasa. Orang Yunani menyebut hal ini sebagai ethos, pathos, dan
logos. Ethos adalah kredibilitas pribadi (karakter), pathos adalah perasaan
yang empatik dengan orang lain (hubungan) , dan logos adalah ide yang mau
disampaikan. Sesuai urutannya, ethos-pathos-logos, suatu komunikasi efektif
mesti mengikuti urutan tersebut. Dalam komunikasi interpersonal, suatu upaya
menyampaikan ide (logos) tanpa mempertimbangkan karakter diri (ethos) dan
kuat-renggangnya relasi (pathos), hanya menghasilkan suatu presentasi ide yang
sia-sia. Keabsahan logika tidak selalu dapat meyakinkan orang lain. Oleh karena
itu, melatih diri untuk membangun karakter diri dan membangun relasi empatik
dengan orang lain merupakan jalan utama untuk menyampaikan ide kepada orang
lain. Hal ini dapat disebut juga dengan upaya kontekstualisasi. Tanpa
kontekstualisasi, ide menjadi angin lalu saja di hadapan orang lain.
3.
Sinergi
: Prinsip Kerja Sama Kreatif
Sinergi berarti
hubungan antar bagian di mana bagian-bagian itu merupakan bagian di dalam dan
dari hubungan itu sendiri. Dalam konteks relasi antar manusia, sinergi dapat
diartikan dengan suatu kerja sama yang kreatif antar manusia. Intisari dari
sinergi ialah sikap menghormati perbedaan, membangun kekuatan, dan mengimbangi
kelemahan sehingga tercipta suatu proses kreatif antar komponen di dalam
kelompok.
Covey mencoba
untuk melihat unsur sinergi dalam komunikasi antar manusia. Menurutnya,
pikiran, hati, dan ekspresi setiap orang dapat terbuka dengan komunikasi yang
sinergistik. Setiap pihak yang terlibat dalam komunikasi menjadi aktif
sekaligus diperkaya. Komunikasi sinergistik ini merupakan komunikasi efektif dalam
setiap interaksi manusia dengan manusia lain. Covey menerangkan beberapa
aplikasi komunikasi sinergistik ini dalam pelbagai bidang kehidupan sosial,
salah satunya yakni sinergi dalam ruang kelas.
Sinergi di ruang
kelas dapat ditemukan ketika kelas berada di tepi jurang kekacauan. Tepi
kekacauan ini memberikan peluang bagi setiap orang dalam kelas untuk memberikan
sumbangsihnya berupa sumbang saran kepada kelas tersebut. Dengan peluang ini,
lahirlah gagasan-gagasan baru dari keterlibatan setiap orang di dalam kelas.
Semangat kepercayaan dan rasa aman mendorong setiap orang untuk semakin terbuka
dengan orang lain di kelas tersebut dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru.
Setiap orang yang terbakar semangatnya di dalam kelas menjadi terikat dengan
dinamika kelas tersebut. Kesulitan sinergi di dalam kelas ini ialah bahwa ada
sekelompok orang yang merasakan kesia-siaan dari sinergi ini. Mereka cemas
dengan arah pembicaraan dan memandang komunikasi sinergistik sebagai fantasi
yang penuh resiko. Akibatnya komunikasi sinergistik tak bisa berlangsung dan
situasi biasa kembali berjalan.
Dalam komunikasi, persoalan yang kerap dijumpai
adalah ketidaksepahaman dan ketidaksetujuan. Dengan adanya rasa percaya yang
tinggi di antara pihak yang terlibat dalam sinergi, ketidaksepahaman dapat
teratasi. Tidak terjadi suatu pembelaan diri atau pertentangan, melainkan suatu
usaha dan komitmen untuk saling memahami satu dengan yang lain. Konfrontasi
tidaklah dihindari melainkan diselesaikan dengan cara-cara yang tulus.
Lewat komunikasi sinergistik, pihak yang terlibat
dalam suatu perbedaan pendapat dapat menghadirkan suatu solusi yang berbeda
dengan komunikasi yang kompromistik atau defensif. Kedua belah pihak yang sudah
sama-sama mengerti situasi dan kondisi pihak lain, mengerti kebutuhan dan
masalah pihak lain, akan berusaha untuk menciptakan alternatif yang lain atau
disebut juga dengan alternatif ketiga, yang bermanfaat bagi kedua belah pihak.
Alternatif ketiga merupakan sekadar akumulasi kekuatan dari dua pihak, melainkan
suatu produktivitas yang berlipat ganda. Inilah maksud Covey dengan mengatakan
bahwa dalam sinergi, “1+1=3”, yang berarti keseluruhannya lebih besar daripada
jumlah bagian-bagiannya.
Komunikasi sinergistik dapat berjalan lewat sikap
menghargai perbedaan karena setiap orang melihat dunia dengan paradigma
tertentu yang unik. Setiap pihak dalam komunikasi sinergistik mengakui
keterbatasan pandangannya (visi). Oleh karena itu, setiap orang mesti menyadari
bahwa orang lain juga memiliki kelebihan yang tidak kita miliki dan kekurangan
yang mesti kita lengkapi. Saling menghargai melahirkan kepercayaan di antara
pihak-pihak yang terkait dalam komunikasi sinergistik.
4.
Asahlah
Gergaji : Prinsip Pembaruan Diri yang Seimbang
Kehidupan
manusia mesti selalu dibaharui. Walaupun sebagian manusia merasa bahwa
pembaruan tidak perlu dan membuang-buang waktu serta tenaga, Covey menyatakan
bahwa pembaruan hidup merupakan salah satu kebiasaan yang paling efektif dan
penting dalam kehidupan manusia. Tenaga dan waktu yang digunakan dalam
pembaruan tidak terbuang sia-sia melainkan menjadi sebuah investasi untuk
sebuah hasil yang berlipat ganda. Inilah yang dimaksud Covey dengan mengasah
gergaji atau membaharui kehidupan.
Menurut Covey,
ada empat dimensi diri manusia yang dapat dibaharui, yakni:
a.
Dimensi
Fisik
Dimensi fisik
meliputi pemeliharaan fisik secara efektif dengan mengatur pola makan,
istirahat yang memadai, dan berolahraga secara teratur. Dengan melaksanakan
pembaruan dalam dimensi fisik ini, seseorang semakin dimampukan untuk memiliki
kekuatan fisik yang memadai, tubuh yang sehat,serta daya tahan dalam melaksanakan
aktivitas-aktivitas sehari-hari.
b.
Dimensi
Spiritual
Dimensi
spiritual merupakan pusat kehidupan manusia. Daerah ini merupakan daerah yang
sangat pribadi dan menjadi sumber semangat bagi manusia untuk menjalani
hidupnya. Dalam kehidupan spiritual, terdapat nilai-nilai yang menjadi pedoman
kebenaran dan kebaikan bagi setiap aktivitas manusia. Pembaharuan dimensi
spiritual ini dapat dilakukan dengan refleksi, meditasi, dan kegiatan-kegiatan
rohani lainnya.
c.
Dimensi
Mental
Dimensi mental
merupakan intelektualitas/kognitif manusia. Dimensi ini umumnya berkembang pada
masa sekolah dan mandek setelah pendidikan formal itu berlangsung. Dimensi ini
masih dapat terus dikembangkan dan diasah dengan pelbagai usaha, seperti
membaca buku-buku yang bermutu, menulis, dan lain-lain. Menonton acara yang
berkualitas di televisi juga dapat membantu seseorang mempertajam pikiran
seseorang, meskipun mesti dalam kadar dan batas yang secukupnya.
d.
Dimensi
Sosial/Emosional
Pembaharuan
dimensi sosial dapat terjadi dalam interaksi hidup sehari-hari bersama orang
lain di sekitar kita. Caranya ialah dengan mulai mengaplikasikan
kebiasaan-kebiasaan efektif menang/menang, memahami sebelum dipahami, dan
sinergi dalam keseharian. Dengan belajar mengaplikasikan kebiasaan ini,
seseorang menumbuhkan rasa aman dan damai yang lahir dari kedalaman dirinya.
Hal ini disebut juga sebagai integritas hidup manusia. Hal ini merupakan bukan
aspek intelektual manusia melainkan aspek emosionalnya.
Pembaharuan dalam bidang sosial
tidak hanya membantu diri sendiri untuk memiliki karakter yang lebih baik.
Pembaharuan dalam bidang sosial juga dapat membantu orang lain melihat diri
mereka dengan suatu paradigma baru dan memiliki karakter yang juga lebih baik.
Pembaharuan dalam bidang sosial merupakan jembatan untuk memperkaya sesama.
Keempat dimensi pembaharuan hidup di atas mesti
dilaksanakan secara seimbang, bukan dengan melaksanakan yang satu dan melupakan
yang lain. Dibutuhkan kebijaksanaan dalam mengatur keempat dimensi itu demi
tercapainya pembaharuan yang efektif dalam karakter kepribadian seseorang. Bila
keempat dimensi pembaharuan tersebut dilaksanakan dengan tepat, suatu sinergi
akan muncul dalam kehidupan seseorang. Sinergi ini berkaitan dengan kebiasaan
yang satu yang dapat mempengaruhi kebiasaan yang lain. Perubahan dalam pribadi
berpengaruh dengan perubahan kepada sesama dan lingkungan. Sinergi dalam
pembaharuan ini akan menghasilkan perkembangan pribadi seseorang dan masyarakat
bukan sebagai jalan pintas, melainkan seperti spiral yang bergerak meluas ke
atas. Dengan pembaharuan, kehidupan pribadi dan sosial semakin hari semakin
baik.
5.
Penutup
Lewat bukunya The
Seven Habits of Highly Effective People, Covey mengajarkan banyak hal
kepada kita tentang proses perubahan karakter yang berlangsung lewat
pembiasaan-pembiasaan yang prinsipil. Untuk itu, Covey pernah mengutip pepatah
lama yang mengatakan, “taburlah gagasan, tuailah perbuatan; taburlah perbuatan,
tuailah kebiasaan; taburlah karakter, tuailah takdir;” Semoga dengan membaca
karya besar dari Covey ini, kita belajar untuk semakin memahami kepribadian
kita, terlebih bisa bertumbuh (evolusioner) menjadi pribadi yg
berkeutamaan lewat kebiasaan-kebiasaan yang ia ajarkan.