Dalam
hidup bersama, entah itu dalam keluarga maupun lingkungan masyarakat, seringkali atau bahkan hampir selalu ditemukan adanya kekeliruan, kealpaan atau
kesalahpahaman, kemarahan dan sebagainya. Mengapa itu terjadi? Adakah unsur
kesengajaan, maksud jahat atau kebiasaan? Mungkin sekali-sekali demikian,
tetapi yang terjadi adalah karena tidak ada orang hidup yang sempurna.
Kemarahan
menjadi batu sandungan atau momok dalam kehidupan. Ketika amarah memuncak, apa
saja dapat terkena efek dan dampaknya. Ibaratnya gelombang amarah dapat menyapu
seluruh area kehidupan manusia.
Dengan
mudah kita bisa mengamati tanda-tanda fisik orang yang sedang marah.
Tanda-tanda itu adalah; darah membumbung ke bagian kepala sehingga muka dan
mata kelihatan memerah, jantung berdetak makin kencang, badan bergetar, dan
lain-lain. Kemarahan yang dipendam lama bisa menjadi bom yang sewaktu-waktu
bisa meledak dan dampaknya bisa sangat berbahaya karena orang yang marah bisa
saja bertindak brutal. Kalau begitu salahkah bila seseorang itu marah?
Kemarahan
adalah suatu emosi yang normal. Orang boleh merasa marah. Kemarahan tidak harus
mengarah pada tindakan yang distruktif atau brutal, bukan? Aku tetap orang baik
sekalipun sedang marah. Marah juga bukan dosa. Untuk lebih jelas mengetahui apa
itu kemarahan, apa saja penyebabnya, bagaimana bersikap terhadap kemarahan. kami akan mencoba meringkaskan apa yang menjadi buah pikiran Chip Ingram dan
Dr. Becca Johnson dalam bukunya Overcoming
Emotions That Destroy.
2.
Memahami Kemarahan
“Kemarahan
tidak pernah tanpa alasan, tetapi jarang ada alasan yang bagus” itulah kataBenjamin
Franklin yang dikutip oleh Chip dan Dr. Becca dalam bukunya. Kemarahan
mempunyai kuasa untuk mengubah diri kita. Ia adalah emosi pemberian Allah yang
lazim, tidak terhindarkan dan tidak terelakkan.Sesungguhnya emosi sendiri
adalah anugerah Allah untuk memampukan kita dalam menanggapi dan menikmati
dunia ini.
Emosi tidak pernah dimaksudkan untuk
menjadi destruktif dan berbahaya, melainkan suatu sensasi psikologis untuk
memuaskan atau memperingatkan kebutuhan psikologis manusia. Salah satu emosi
yang mempunyai potensi paling membahayakan adalah kemarahan; ia adalah emosi
yang memberdayakan sekaligus mewabahi setiap kita.
Memang sulit untuk membuat makna
yang tepat sasaran mengenai apa itu kemarahan, tetapi setiap orang yang pernah
mengalaminya-dengan kata lain, setiap orang-tahu seperti apa rasanya. Chip dan
Dr. Becca memahami kemarahan sebagai respons
atas preservasi protektif yang bermuatan, netral secara moral dan emosional.
Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa kemarahan itu bermuatan, penuh tenaga.
Kemarahan membuat cairan tubuh kita mengalir, jantung kita berdebar, dan akal
kita berpacu. Kemarahan juga netral secara moral. Artinya, kemarahan itu tidak
baik dan tidak buruk; tetapi secara sederhana merupakan emosi, perasaan.
Kemarahan memiliki potensi untuk
penggunaan dan penyalahgunaan yang hebat. Ia bisa menjadi sesuatu yang
memotivasi, monolong, dan membangun, tetapi ia juga bisa menjadi sesuatu yang
menghancurkan, membahayakan, dan merusak. Tidak masalah jika kita marah. Akan
tetapi, kita harus yakin bahwa kita marah kepada hal yang tepat dan merespons
dengan cara yang benar. Yang sering terjadi saat kita marah adalah penganiayaan
melalui ucapan meletus, serangan terhadap fisik meningkat, serangan emosional
terdongkrak, dan pembunuhan karakter berlipat ganda. Kemarahan bisa menjadi
masalah apabila digunakan dalam cara-cara yang keliru, terjadi terlalu sering,
berlangsung terlalu lama, dan berakibat pada prilaku yang tidak pantas.
3.
Wajah-wajah Kemarahan
Bagaimana
cara mengungkapkan kemarahan? Jawaban kita masing-masing menunjukkan orang
seperti apakah kita. Menurut survei, 23 persen masyarakat Amerika mengaku bahwa
mereka secara terbuka mengekspresikan (meletupkan) kemarahan mereka, sekitar 40
persen menahannya atau menyembunyikannya. Sementara 23 persen dari mereka
mengaku menghantam seseorang dengan kemarahan, dan 17 persen dari mereka
mengaku merusak barang milik orang lain yang menjadi sasaran kemarahan mereka.
Ada
orang beranggapan bahwa kemarahan itu buruk, dan karenanya harus dihindari atau
diabaikan. Ini adalah pandangan umum kebanyakan orang. Sementara yang lain
beranggapan bahwa kemarahan itu baik dan seharusnya diekspresikan dengan bebas.
Ada lagi orang lain yang memandang bahwa kemarahan itu sebagai sesuatu yang
tidak mampu mereka ubah. Mereka melihat kemarahan sebagai sesuatu yang
ditentukan secara genetis. “Aku tidak bisa mengendalikannya. Seperti itulah
aku.”
Masing-masing
anggapan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Boleh dikatakan
bahwa cara masing-masing orang merespons kemarahan dipengaruhi oleh
kepribadian, keadaan, budaya, gender, usia dan pengalamannya pada masa lampau.
Siapa dia, di mana dia, dan apa yang dia alami semuanya berpengaruh pada
caranya merespons kemarahan.
Secara
umum, respons terhadap kemarahan dapat dikelompokkan dalam tiga ciri khas.
Pertama, memuntahkannya (meledakan).
Kedua, memendamnya (orang
menyembunyikan kemarahan dan berpura-pura tidak ada). Ketiga, membocorkannya sedikit demi sedikit pada
setiap kesempatan. Untuk lebih mudah mengingat, Chip dan Dr. Becca menyebut
profil kemarahan ini sebagai Pemuntah, Pemendam, dan Pembocor.
Para
pemuntah adalah mereka yang secara agresif mengekspresikan dan meledakkan
kemarahan kepada orang-orang di sekitar mereka. Mereka menggunakan kemarahan
untuk mengintimidasi dan memegang kendali. Mereka sebenarnya memiliki potensi
untuk meningkatkan hubungan mereka secara dramatis jika mau mempelajari cara
mengekspresikan kemarahan dengan tepat dan konstruktif.
Para
pemendam adalah mereka yang memiliki keyakinan bahwa kemarahan itu buruk. Bagi
mereka kemarahan dapat mengundang malu dan aib sehingga sedapat mungkin
dipendam, disimpan, dijaga, dan ditumpuk dalam hati agar tetap tertutup rapat.
Para pemendam akan tertolong dengan tindakan menerima kemarahan sebagai sesuatu
yang normal, mengetahui perasaan-perasaan mereka, dan belajar mengomuni-kasikannya
dengan efektif.
Para
pembocor adalah tipe orang yang menyerang secara pasif, tidak membiarkan
kemarahan mereka kentara sehingga membiarkan kemarahan mereka bocor
perlahan-lahan. Parapembocor cenderung kritis, menarik diri, telat, kaku,
lamban, ingkar janji, dan menunda-nunda. Motif tindakan para pembocor adalah
balas dendam secara halus. Para pembocor akan tertolong jika mereka mau belajar
mengomunikasikan kemarahan dengan efektif, lebih tegas dengan kebutuhan dan
keinginan mereka, dan menerima bahwa kemarahan adalah sesuatu yang normal.
4.
Bergumul dengan Kemarahan
Mengapa kita perlu bergumul dengan kemarahan? Alasannya
adalah karena kemarahan bukan masalah, ada persoalan yang lebih dalam di balik
kemarahan itu sendiri. Kemarahan hanyalah respons sekunder yang memberi tahu
bahwa dalam diri seseorang ada sesuatu yang hilang, salah, atau tidak nyaman
dan butuh diperiksa, diperbaiki, atau diganti. Kemarahan ibarat lampu
peringatan yang memberi sinyal bahwa ada yang salah dalam diri seseorang. Akar
dari kemarahan sendiri sebenarnya adalah luka
akibat kebutuhan yang tidak terpenuhi, frustrsi
dari harapan yang tidak terpenuhi, dan rasa
tidak aman dari diri atau harga diri yang terancam.
Kemarahan juga ibarat puncak gunung
es. Kemarahan kerap menjadi hal yang tampak oleh mata tetapi tidak menunjukkan
keseluruhan masalah sebenarnya. Untuk itu yang perlu dilakukan adalah mencaari
tahu persoalan sebenarnya yang ada dibaliknya. Chip dan Dr. Becca menawarkan
langkah-langkah tindakan supaya seseorang bisa mengetahui persoalan
kemarahannya yang sesungguhnya. Mereka menyebut ABCD-nya Kemarahan. A –
Acknowledge, akui dan terima kemarahan anda. B – Backtrack, mundur dan tanyakan kepada diri anda apa yang
sesungguhnya anda rasakan. C – Consider,
pikirkan penyebabnya, mengapa anda merasa demikian. D – Determine, tetapkan cara mengahadapinya, bagaimana anda
merespons situasi ini.
5.
Mengubah Kemarahan: Lawan Menjadi Kawan
Langkah sederhana dan mudah diingat yang ditawarkan
Chip dan Dr. Becca menjadi alat penyemangat untuk menguji kemarahan, mengenali
apa yang ada di baliknya, mempertimbangkan faktor-faktor penyebabnya, dan
menentukan cara terbaik untuk menghadapinya. Langkah sederhana ini membantu
seseorang untuk tidak hanya berkutat dalam emosi kemarahannya. “Apabila kamu menjadi marah, janganlah
berbuat dosa; janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu.” (Efesus
4:26).
Respons yang benar terhadap
kemarahan yang melanda memerlukan keputusan untuk melawan atau tidak, kapan
saatnya, dan bagaimana caranya. Kadang hal ini sulit dilakukan, namun bisa
tertolong dengan mempertimbangkan unsur-unsur berikut; siapa, apa, bagaimana,
dan kapan. Kepada siapa sebenarnya
saya marah? Diri sendiri? Orang lain? Situasi? Allah? Apa yang seharusnya saya perbuat? Melawan atau berdamai? Apakh
rencana saya akan membuat masalah selesai atau bertambah buruk? Bagaimana saya mengahadapi situasi ini?
Menemui orangnya secara langsung? Melalui telpon? Atau mencari
kegiatan-kegiatan lain untuk melupakan kemarahan? Kapan seharusnya saya mengahdapi situasi ini? Sekarang, nanti,
atau tidak pernah sama sekali?
Kemarahan adalah pilihan dan dua
orang mestinya tidak marah pada saat yang sama. Orang yang marahlah yang
bertanggungjawab atas kemarahannya, bukan orang lain. Chip dan Dr. Becca
menganjurkan untuk mempertimbangkan bebagai pilihan sebelum marah. Alasanya
adalah setiap orang, siapapun itu, perlu belajar untuk mengambil waktu dan
berfikir sebelum bertindak, berhati-hati untuk tidak jatuh pada kesimpulan yang
keliruapalagi saat situasi yang sulit dihadapi (menuju kemarahan).
Apabila
kemarahan adalah pilihan, yang perlu bagi kita semua adalah membauat
perubahan-perubahan dalam cara bereaksi. Baik jika kita membuat pilihan-pilihan
bijak, sehat dan penuh berkat. Mulai dengan hasrat untuk berubah, kemudian
membuat rencana-rencan terperinci mengenai hal yang ingin diubah, dan
berkomitmen utnuk melakukannya dengan ketetapan hati.
6.
Rencana Allah dalam Pengelolaan Kemarahan
Amarah
itu ibarat kuda jantan liar. Ia perlu dijinakkan dan dimanfaatkan untuk kebaikan.
Ia adalah energi, tenaga, dan kekuatan. Meskipun kemarahan memiliki potensi untuk
merusak, ia juga memiliki potensi untuk kebaikan. Jika dibiarkan tanpa kekang,
kemarahan bisa menghancurkan kita dan orang-orang di sekitar kita. Kita perlu
menggunakannya, memahaminya, dan memahami yang Allah katakan tentangnya.
Kemarahan bukanlah iblis. Ia hanya perlu dijinakkan.
“Hai saudara-saudara yang kukasihi,
ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat
untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah; sebab amarah manusia tidak
mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.”
(Yakobus 1:19-20). Kutipan Kitab Suci ini dipakai oleh Chip dan Dr. Beccauntuk
menguraikan tema Rencana Allah dalam Pengelolaan Kemarahan. Kutipan Kitab Suci
ini mengispirasikan langkah-langkah untuk mengelola kemarahan seturut kehendak
Allah, yakni cepat mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah.
Cepatlah
mendengar, adalah langkah pertama. Bukankah Allah sudah mengaturnya sedemikian
rupa? Allah menciptakan manusia dengan dua telinga dan satu mulut agar manusia
itu dapat mendengar dua kali lebih banyak daripada berbicara. Mendengar berarti
menyimak, menjadi terbuka, siap, sedia, dan bermakna memahami dan mengerti.
Mendengar juga mengandaikan sikap untuk patuh. Cepat mengdengar brarti bahwa:
cepat mendengar hal yang menyulut kemarahan, cepat mendengarkan orang lain
(menjadi penyimak yang aktif dan penuh perhatian), dan cepat (siap) mendengar
Allah (menyimak apa yang Allah kehendaki).
Langkah
kedua adalah lambat untuk berbicara. Lambat untuk berbicara bukan berarti
bicara perlahan, melainkan berfikir sebelum bicara, menimbang-nimbang kata
dengan teliti. Saat diam, kita menajaga agar kata-kata kasar, kritis, dan
berpotensi melukai tidak menusuk hati lawan bicara kita. “Aku hendak menjaga
diri, supaya jangan aku berbuat dosa dengan lidahku.” (Mzm. 39:1).
Langkah
ketiga adalah Lambat untuk marah.Kemarahan dalam Perjanjian Baru berasal dari
kata Yunani thumos yang berarti
meledak. Kemarahan njenis ini adalah jenis gegabah, reaktif dan impulsive.
Yakubus menulis lambat untuk marah mengacu pada kemarahan yang hidup bukan
meledak-ledak. Cara yang pasti untuk memperlambat kemarahan adalah dengan
belajar menggunakan komunikasi yang efektif. Komuinikasikan kebutuhan dengan
sikap tanpa menuduh, mencoba untuk memahami dan mengakui sudut pandang orang
lain, mengenali jalan keluar yang mungkin diambil (negosiasi, kompromi,
kerjasama, bergiliran). Terakhir mempertahankan ketenangan, rasa hormat, dan
keobjektifan serta tetap terbuka untuk masukan dan gagasan baru.
7.
Belajar Menghentikan Kemarahan sebelum Terjadi
Kerap
kali kita marah bukan hanya kepada
hal-hal besar; luka mendalam dan rasa sakit tanpa henti melainkan juga
kepada hal-hal kecil, seperti kesusahan
setiap hari dan frustrasi sementara. Kita dipengaruhi oleh hal kecil sekaligus
kehancuran mendalam. Banyak dari rasa frustrasi harian kita disebabkan oleh
gaya hidup dan sikap kita.Bahkan, kehidupan normal sehari-hari saja bisa
membuat stres. Tujuan kita adalah menguranginya, sebab semakin tertekan,
terbakar, kewalahan, atau sibuk kita, semakin rentan stress, semakin mungkin
kemarahan muncul.
Chip dan Dr. Becca menawarkan enam strategi untuk memperkecil
tekanan dalam kehidupan. Strategi itu antara lain; hilangkan ketergesa-gesaan, turunkan harapan, akui kesalahan, lebih
banyaklah tertawa, rawatlah diri, ketahui hal yang memicu kemarahan.Strategi
ini membantu merubah gaya hidup dan sikap seseorang untuk tidak mudah marah.
Kunci untuk melonggarkan kemarahan adalah dengan memperkecil stres dan
memperbesar Allah.
Memperbesar Allah berarti berhubungan benar dengan
Allah, mengalami kasih dan penereimaan Allah tanpa syarat, menerima diri
sendiri separti yang dijadikan-Nya, percaya kepada-Nya dan kedaulatan-Nya, dan
menjadi manusia pendoa dan pemberi berkat. Terdengar mudah? Tidak. Namun,
apabila berkomitmen pada tantangan untuk berubah ini, siapa pun bisa mencoba
dan melakukannya. Bersama Allah, segala hal adalah mungkin. Dengan begitu
semoga kemarahan semajkin menjauh, dan hidup semakin tentram, damai, dan
tenang.
8.
Bagaimana Menjadi Baik dan Marah.
Berlawanan
dengan kebanyakan keparcayaan pada umumnya, seringkali merasa marah serta mengungkapkan
kemarahan adalah bentuk terpuji atas suatu hal. Dalam banyak situasi, orang
perlu merasa sangat marah, bukan menekan kemarahan itu. Kemarahan adalah salah
satu senjata yang paling positif dan efektif di mata Allah untuk membuat
perubahan yang radikal dan baik di masayarakat luas. Untuk itu siapa saja
ditantang untuk marah dan diperintahkan untuk marah.
Kalau
kita diperintahkan untuk marah, kemarahan kita haruslah kuat, penuh kepedulian,
pengertian, dan tetap terkendali. Yesus pernah marah ketika menyaksikan
ketidakadilan dan pandangan ayng salah kaprah pada zaman itu. Cerita-cerita
dalam Injil sering kali mengajar kita untuk membela hak orang lain, bukan
membela diri sendiri. Untuk itu, kemarahan yang sesuai membutuhkan motivasi dan
metode yang benar.
Semua
kemarahan bukanlah dosa, tetapi kemarahan yang berkepanjanganlah yang akhirnya
menjadi dosa dan bertentangan dengan Injil. Kemarahan perlu segera diselesaikan
dengan tekad bulat. Melarikan diri dari kemarahan berarti menutup kemungkinan
adanya penyelesaian. Allah dapat menyembuhkan kepahitan yang kita rasakan.
Sebagaimana luka, kepahitan kita perlu dibersihkan, dirawat, dan dibalut.
Pengampunan adalah pilihan untuk menghapus sakit hati dan keinginan membalas
dendam pada orang yang pernah menyakiti kita. Kita harus menaati iman, bukan
perasaan.